Minggu, 12 Maret 2017

Tak Mau Jadi Korban Asmara


 JUAL E-BOOK.
JUDUL : TAK MAU JADI KORBAN ASMARA.
HARGA ; Rp. 20.000.
YANG BERMINAT HUB. WIRASANDI RISANI
NO.HP 085103481919.
NO.REK. 1520014105130 BANK MANDIRI
AN. WIRASANDI.....

Episode I
PASANGGARAHAN TINGGAL KENANGAN
Setiap sabtu kami selalu datang bertemu di sebuah bukit dalam kota Sengkang kami duduk diatas sebauh bangku bangku memandang kebawah kota Sengkang dan danau Tempe sambil bercanda, kaki kami sesekali tersentuh dan mempermainkan tumbuhan bunga didepan kami. Semilir angin yang berhembus sepoi sepoi membuat kami saling memandang yang semakin menambah sejuknya perasaan
Saat ini aku sedang menunggu, Namun hari memintal minggu, minggu merajut bulan, dikala fajar menyingsing aku kirim salam. Karena kuyakin cahaya Matahari kan melewati dirimu, Tengah malam dibalik tidur ku mengenangmu, Tetap saja semua hening. Sejak kau pergi, ku masih saja menantimu, hingga kau kembali dan takkan tinggalkan ku lagi, entah kapan….
Tanpa terasa pakaianku basah menyaksikan matahari di ufuk barat perlahan tenggelam menuju pembaringan. Di bangku ini kami dipertautkan oleh cinta, namun sekolah telah memberi jarak aku dengannya. Berat hati kami harus berpisah, demi masa depan yang dicita citakan bersama. Saat dia membisikkan selamat tinggal, aku hanya bisa tunduk terharu menitikkan air mata.
Setahun berlalu sudah, Sangeang telah mengabariku bahwa ia akan pulang berlibur, rasanya kutak tahan lagi ingin berjumpa, dan kala malam datang, seiring rasa kantuk namun aku tak mampu memejamkan mata, kala Subuh menjelang, aku bangun dan aku mendengar puji-pujian kepada Tuhan, berkumandang dari Mesjid. Akupun pergi berwudhu, aku Sholat dan berdzikir di atas hamparan keabadian yang tersembunyi di balik relung hati, itu ada kekuatan arus menyanyi bersama angin. Namun waktu kedatangannya yang dijanjikan itu tak pernah dipenuhi.
Seiring waktu berjalan aku terus menanti, bilakah ia kembali walau hanya sekejap, karena aku rindu, walau ia datang hanya sebatas bisikan, walau ia hanya datang sekedar untuk bertanya tentang keadaanku. Aku sepertinya tidak tahan lagi didera kerinduan dan waktu. Hanya satu yang kusayangkan, mengapa ketika kami akan berpisah, orang tuaku belum mampu membelikan aku Hand Phone, dimana aku butuh bicara dengan Sangeang di Bandung, aku hanya bisa bicara lewat Hand Phone teman, itupun paling hanya dapat bicara 2 kali seminggu.
Menjelang setahun lebih, orang tuaku baru dapat membelikan aku Hand Phone, tapi mengapa justeru Sangeang jarang sekali mau meneleponku. Hingga suatu saat aku meneleponnya, sepertinya ia malas bicara dan terasa hambar. Sadar aku melihat hal ini, maka aku harus menentukan sikap, bahwa aku tidak bisa lagi mengharap orang lain untuk ikut menentukan hidupku.
Kedatangan ke Pasanggarahan kali ini, hanya untuk menegaskan bahwa ditempat ini dulu kita pernah memadu janji, ditempat ini pula aku putuskan kita kan berpisah untuk selamanya, karena sudah lima belas purnama aku menunggu, dan ini bukan waktu yang singkat, untuk sebuah penantian kabar berita. Aku segera bergerak diam diam turun dari bangku, dan mulai melangkahkan kaki dipinggir hijaunya rumput, kutinggalkan jejak diatas tanah merah, yang akan terhapus oleh turunnya hujan. Ingin rasanya melepas kehausan rindu, namun semakin aku haus, hanya ada satu cara yaitu mencoba untuk tidak mengenangnya. Tapi napasku dipenuhi segenap relung hatinya, diiringi kecupan-kecupan kasih sayang, tapi beritanya pantas diwarnai kebimbangan, sementara aku sabar dan tenang serta berusaha menjaga diri, agar kekuatan cintaku tidak menyusut. Mungkin aku adalah pemuja cinta dari kebenaran cinta yang perkasa. Tapi mungkin juga kelelahan cinta akan menerpaku dan aku tak berdaya. Barangkali masih ada jalan lain menantiku, karena aku tidak mau menangis lagi, karena rajut kerinduanku telah terputus tanpa janji.
Karena itu pantaskah aku tunduk terbawa arus nasib, sementara hatiku masih ragu, jangan sampai aku jatuh terduduk dalam kepasrahan dan hanya bersandar ditakdirku, dengan menunggu sesuatu yang tidak berkesudahan. Karena kesetiaan hanya nampak ketika sisi lain muncul penghianatan. Tiba tiba seperti ada bisikan berkata “Oh Simpurusia sadarlah bahwa cinta yang terlalu dan melampaui batas, adalah tanda yang akan membuahkan kebodohan.
Aku berlari menuju rumah di tengah remang remang cahaya purnama. Ayah ibu dan saudaraku telah was was menantikan. Secara bersamaan ayah, ibu dan adikku bertanya : Darimana ?
Ibuku lanjut bertanya : Dari mana kau Simpur? Apa kau lupa kalau sekarang sudah magrib?
Aku menjawab : Iya bu, aku sempat ditahan teman sehingga aku terlambat pulang.
Ibu berkata : Sana.. cepat ambil wudhu dan sholat.
Aku menjawab : Iya bu...
Selesai sholat, akupun ke meja makan untuk santap malam. Namun santapan malam kali ini terasa hambar. Sementara bintang di persada angkasa tak lagi cukup menghangatkan kedinginan dalam kesendirian, menikmati renungan pelita hati, dengan membayangkan sang pangeran dirantau tidur lelap dalam mimpi. Sementara aku dipembaringan ini hanya berselimutkan kecewa. .
Sangeang bukanlah insan biasa dikotaku, ia adalah manusia pilihan yang dikaruniakan Tuhan pada orang tuanya, juga manusia dambaan bagiku, dan lelaki idaman setiap wanita yang mengenalnya. Kala itu hari lagi cemerlang, secemerlang bisikan cintanya padaku, hingga menggulung jarak ombak asmara diantara kami, menuju sebuah pulau harapan. Sapu tangan kecilnya adalah rajut pemberian sebagai penghangat cintanya, masih mendekam dalam setiap desah napasku. akankah tersapu oleh awan yang ber-arak, karena kini hangatnya bintang lazuardi tak mampu lagi menghangatkanku.
Di bawah naungan langit biru dengan segala hiasannya yang indah tiada tara Di atas hamparan bumi, dengan segala lukisannya yang panjang terbentang Masih kudapatkan dan kurasakan. Curahan rahmat dan berbagai ni'mat yang kerap kau berikan, tapi bila tiba waktu berpisah, kulangkahkan kaki bersama ayunan langkah dan kupejamkan mata bersama orang-orang yang kucintai Masih kudapatkan dan kurasakan keramaian suasana dan ketenangan jiwa. Tapi bila tiba waktu berpisah, akankah kupergi seorang diri tanpa bayang-bayang mereka yang akan menemani, ketika kulalui jalan-jalan yang berdebu, yang selalu mengotori tubuhku. Setiap kegagalan yang membawa kekecewaan, setiap kenyataan yang menghadirkan penyesalan masih bisa kudengar dan kurasakan. Suara-suara yang menghibur untuk menghapus setiap kecewa dan sesal.
Karena kini aku berdiri tegar menyambut fajar sedang menyingsing, merekah membawa aroma pagi hinggap di pangkuanku terlihat Indah, sejuk terasa menanti bahagia dalam kesabaran. Namun, Yah..., sekarang engkau ibarat matahariku yang dulu indah, dan kini tenggelam di ufuk barat bersama awan hitam. Aku dan kamu, dalam perpisahan tanpa tetesan air mata, karena sadar aku akan terus bersinar, dan tak akan meratapi takdir, Aku akan menjadi rembulan yang indah yang akan bersinar diantara kegelapan, dan akan menjadi bintang gemerlap diantara bintang bintang yang redup..
Wahai Sangeang, engkau telah menyia nyiakan harapanku, engkau tahu dan paham betul orang yang ditinggalkan karena merasa cintanya dikhianati akan menangis, merintih, dalam keperihan, tapi aku tidak. Perpisahan ini hanya sebuah babak baru yang akan berlalu, akan berubah dengan kisah hidup selanjutnya. Harapan untuk hidup ini masih panjang, harapan adalah bayangan nafas kehidupan. Sangeang silahkan pergi, dan selamat jalan. Karena cinta kita tak bisa di paksakan, biarlah cinta ini akan terlupakan tanpa kenangan. Dengan pengalaman ini membuat aku bertahan dan akan ku langkahkan kaki ini menuju masa depan yang lebih cemerlang, dan pada saat yang sama dapat aku buktikan bahwa aku bukan mangsa dalam cakarmu yang bisa bertahan hidup tanpamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar