JUAL E-BOOK
JUDUL : DEMOKRASI &HAM VERSI KERAJAAN WAJO
HARGA : Rp. 30.000.
Yang berminat hubungi Wirasandi Risani
No. HP : 085 103481919
No. Rek : 1520014105130
Sambutan
Bahwa
buku ini, yang ditulis oleh Muhammad Rizani Sjamsu Alam, dengan judul “ DEMOKRASI dan HAK ASASI manusia versi KERAJAAN WAJO”.
Adalah merupakan kearifan lokal suku Bugis. Tentunya diharapkan dapat lebih
mendorong setiap suku bangsa lainnya, untuk berbuat hal yang sama dalam menggali
dan melestarikan warisan budaya leluhur, khususnya yang menyangkut asas demokrasi dan hak asasi
manusia. Harapan saya mudah mudahan isi buku yang sarat dengan nilai nila
moral, leluhur, mampu
memberikan inspirasi guna membangun National and Character Building
bangsa Indonesia. Dan dapat memberi manfaat terhadap kajian, perbandingan,
untuk dijadikan rujukan dalam memperkaya khasanah ketatanegaraan dan hak asasi
manusia. Serta praktek politik masa kini, dan masa depan bangsa Indonesia, yang
lebih terhormat dan bermartabat. Dalam hal ini tentunya tergantung kepada
kearifan seseorang untuk menilai dan mengjawangtahkannya terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara republik
Indonesia.
Terima kasih
Prof.DR.H.R.Sri Soemantri. M.SH
Guru besar Univ.Pajajaran Bandung
Kata
Pengantar
Ilmu Sejarah dapat
dikatakan sebagai induk ilmu pengetahuan manusia, karena hanya ilmu
sejarah satu satunya ilmu yang dapat melukiskan semua peristiwa, kejadian dan
ilmu pengetahuan masa lalu hingga
hari ini. Ilmu sejarah
sebagai induk ilmu pengetahuan, maka segala peristiwa dan
kejadian yang terkandung didalamnya dapat dipetik sesuai esensi aksiologi yang diinginkan. Buku berjudul “ Demokrasi & Hak Asasi Manusia versi Kerajaan Wajo adalah sebuah sejarah perjalanan panjang
salah satu suku bangsa Indonesia, yaitu suku Bugis, di Kerajaan Wajo Sulawesi selatan zaman dahulu. Ketika kita
bicara tentang sejarah maka tidak
terlepas dari masalah peradaban, adat
istiadat, budaya suatu suku bangsa. Sebagaimana diketahui bersama bahwa jatidiri
suatu suku bangsa, ditentukan oleh budayanya.
Oleh karena itu sebuah Warisan Budaya (Cultural Heritage) suku Bugis pada zaman Kerajaan Wajo abad
XV, atau Kabupaten Wajo Provinsi
Sulawesi Selatan saat ini. Warisan budaya
tersebut coba kami angkat
kepermukaan dengan tulisan berdasarkan kaidah kaidah landasan yang bersifat ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Kaidah yang bersifat ontologi secara empiris telah menunjukkan sebuah budaya ,
tentang peradaban manusia di Kerajaan Wajo masa
lampau, yang telah ikut memberi warna,
tentang makna dan arti akan
hakikat sebuah budaya manusia, untuk
mengatur hidupnya, baik secara
individual maupun secara berkelompok,
dalam tatanan bermasyarakat,
berbangsa di kerajaan Wajo abad XV.
Secara epistimologi buku ini
mencoba mengkaji lebih mendalam tentang berbagai filsafat, adagium yang
berkenaan dengan filsafat hidup,
filsafat moral dan etika, serta filsafat
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan secara Aksiologi buku
ini ditulis dengan tujuan bagaimana sebuah kearifan lokal yang mengandung nilai nilai luhur sebagai bahan kajian dan komparatif terhadap sistim Demokrasi dan Hak Azasi Manusia di Indonesia saat ini yang
diadopsi dari barat.
Bersambung…………………….
Selanjutnya prinsip umum yang mengendalikan kehidupan
ketatanegaraan dan perlindungan hak asasi manusia
zaman lampau, pada masyarakat suku Bugis, yang diangkat dari sekelumit kandungan buku Lontara “La Toa “ . Dan beberapa naskah lontara lainnya serta khusus Tana Wajo diangkat dari sebagian isi buku “Lontara Sukkuna Wajo”. Dimana buku
ini diharapkan dapat memberi manfaat
terhadap, kajian perbandingan yang dapat saling melengkapi pandangan dalam
memperkaya, ketatanegaraan dan hak asasi manusia, serta praktek politik masa kini dan masa depan
tanah Air Indonesia. Dalam hal ini tergantung pada kearifan setiap orang untuk
menilai dan memanfaatkannya dalam kehidupan. Itulah antara lain yang menjadi
maksud dan tujuan penggalian dan pemberdayaan, khasanah kebudayaan yang merupakan kearifan
lokal setiap suku bangsa di Indonesia.
Bahwa berbagai upaya kaum
intelektual orang Wajo dimasa lampau, dapat dikatakan merupakan sesuatu warisan yang amat berharga, ibarat sebutir
mutiara yang terpendam dalam laut
. Buku “Lontara Sukkuna Wajo” adalah salah satu dari mutiara
yang terpendam itu. Karena itu sampai dimana
kemampuan kita mengangkatnya
kepermukaan, sehingga dapat
bermanfaat untuk menambah rangkaian
untaian mutiara yang sudah
ada.
Di tanah Bugis , rakyat sudah
ada lebih dahulu daripada raja. Sebuah adagium
dari Lontara
La Toa menyatakan bahwa : Raja
tanpa Rakyat bukanlah Raja, sementara Rakyat tanpa Raja, tetaplah ia
Rakyat. Pemikiran inilah kemudian
melahirkan salah satu
bentuk tradisi budaya Bugis, dalam Lontara “Sukkuna Wajo”
menyebutkan bahwa, apabila rakyat
tidak senang dengan cara cara seorang raja menjalankan pemerintahan, maka rakyat dapat saja bertindak memakzulkan, atau melakukan apa yang
disebut Mallekke
dapureng (berpindah
tempat), ketempat lain untuk mendirikan komunitas baru
yang lebih terhormat dan bermartabat.
Ada beberapa hal pemikiran dalam
peradaban budaya Bugis dahulu kala, dapat disejajarkan dengan
berbagai gagasan tentang
pluralisme dan hak asasi
manusia, yang selalu menjadi topik
pembicaraan hangat dalam percaturan dunia global saat ini, yang menaruh hormat terhadap
berbagai gagasan tentang bagaimana
membangun kesamaan pandangan, untuk bertindak dengan menempatkan factor kemanusiaan pada level tertinggi. Hal yang sama juga tercermin bagaimana
kebudayaan Bugis menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia. Seperti halnya dalam
kesetaraan gender, bukan hanya
pada laki laki dan perempuan, tapi juga bagi
gender ketiga, keempat dan ke Lima (calabai, calalai dan Bissu), dan
bagaimana perempuan menduduki
tempat yang benar-benar sejajar dengan lelaki, dengan kemampuan menjadi
raja yang setara dengan laki laki dalam menjalankan roda
pemerintahan dan kebijakan-kebijakan
kerajaan. Pada sejumlah peristiwa, perempuan Bugis telah mampu memperlihatkan keberaniannya,
dalam menandaskan keputusan-keputusan penting yang mempertaruhkan masa depan kerajaan. Kesetaraan
gender dan penyediaan ruang pada gender yang lain, itu
adalah sebagian dari hal-hal yang membuat tercengang, banyak
penjelajah Eropa yang pernah singgah di tanah Bugis. Dan mereka
mengakui kalau memang banyak hal dalam peradaban suku Bugis
yang tampak mendahului zamannya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar