Kamis, 23 Maret 2017

DEMOKRASI & HAM VERSI KERAJAAN WAJO











JUAL E-BOOK
JUDUL         : DEMOKRASI &HAM VERSI KERAJAAN WAJO
HARGA       : Rp. 30.000.
Yang berminat hubungi Wirasandi Risani
No. HP         : 085 103481919
No. Rek       : 1520014105130






Sambutan


 
  
           
 Bahwa buku ini, yang ditulis oleh Muhammad Rizani Sjamsu Alam, dengan judul “ DEMOKRASI dan HAK ASASI manusia  versi KERAJAAN WAJO”. Adalah merupakan kearifan lokal suku Bugis. Tentunya diharapkan dapat lebih mendorong setiap suku bangsa lainnya, untuk berbuat hal yang sama dalam menggali dan melestarikan warisan budaya leluhur, khususnya yang menyangkut asas demokrasi dan hak asasi manusia. Harapan saya mudah mudahan isi buku yang sarat dengan nilai nila moral, leluhur, mampu  memberikan inspirasi guna membangun National and Character Building bangsa Indonesia. Dan dapat memberi manfaat terhadap kajian, perbandingan, untuk dijadikan rujukan dalam memperkaya khasanah ketatanegaraan dan hak asasi manusia. Serta praktek politik masa kini, dan masa depan bangsa Indonesia, yang lebih terhormat dan bermartabat. Dalam hal ini tentunya tergantung kepada kearifan seseorang untuk menilai dan mengjawangtahkannya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara  republik Indonesia.
                   Terima kasih

   
           Prof.DR.H.R.Sri Soemantri. M.SH
     Guru besar Univ.Pajajaran Bandung





Kata Pengantar
Ilmu Sejarah dapat dikatakan sebagai  induk  ilmu pengetahuan manusia, karena hanya ilmu sejarah satu satunya ilmu yang dapat melukiskan semua peristiwa, kejadian dan ilmu pengetahuan  masa lalu  hingga  hari ini.   Ilmu sejarah sebagai  induk  ilmu pengetahuan, maka segala peristiwa dan kejadian yang terkandung didalamnya dapat dipetik sesuai esensi  aksiologi yang diinginkan. Buku   berjudul “ Demokrasi & Hak Asasi Manusia versi Kerajaan Wajo   adalah sebuah sejarah perjalanan panjang salah satu  suku bangsa Indonesia,  yaitu suku Bugis, di Kerajaan Wajo  Sulawesi selatan zaman dahulu. Ketika kita bicara tentang sejarah  maka tidak terlepas dari masalah peradaban,  adat istiadat, budaya suatu suku bangsa.  Sebagaimana diketahui bersama bahwa jatidiri suatu suku bangsa, ditentukan oleh budayanya.  Oleh karena itu sebuah Warisan Budaya (Cultural Heritage) suku Bugis pada zaman Kerajaan Wajo abad XV,  atau Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan saat ini. Warisan budaya  tersebut coba kami angkat kepermukaan dengan tulisan berdasarkan kaidah kaidah landasan yang bersifat ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Kaidah yang bersifat  ontologi secara empiris  telah menunjukkan sebuah budaya , tentang   peradaban manusia di Kerajaan Wajo masa lampau, yang telah ikut memberi warna,  tentang makna dan arti akan   hakikat sebuah budaya manusia, untuk  mengatur hidupnya,  baik secara individual maupun secara berkelompok,  dalam tatanan  bermasyarakat, berbangsa di kerajaan Wajo abad XV.  Secara epistimologi  buku ini mencoba mengkaji lebih mendalam tentang berbagai filsafat, adagium yang berkenaan dengan filsafat  hidup, filsafat  moral dan etika, serta filsafat bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Dan secara Aksiologi  buku ini ditulis dengan tujuan bagaimana sebuah kearifan lokal  yang mengandung  nilai nilai luhur sebagai bahan kajian dan komparatif terhadap sistim Demokrasi dan Hak Azasi Manusia di Indonesia saat ini yang diadopsi dari barat.  

Bersambung…………………….
Selanjutnya prinsip umum yang mengendalikan kehidupan ketatanegaraan dan perlindungan hak asasi manusia  zaman lampau, pada masyarakat  suku Bugis, yang diangkat dari sekelumit  kandungan buku Lontara “La Toa “ . Dan  beberapa naskah lontara lainnya  serta  khusus Tana Wajo diangkat dari sebagian isi buku “Lontara Sukkuna Wajo”. Dimana  buku ini diharapkan dapat memberi manfaat terhadap, kajian perbandingan  yang dapat saling melengkapi pandangan dalam memperkaya, ketatanegaraan dan hak asasi manusia,  serta praktek politik masa kini dan masa depan tanah Air Indonesia. Dalam hal ini  tergantung pada kearifan setiap orang untuk menilai dan memanfaatkannya dalam kehidupan. Itulah antara lain yang menjadi maksud dan tujuan penggalian dan pemberdayaan,  khasanah kebudayaan yang merupakan kearifan lokal  setiap suku bangsa di Indonesia.

Bahwa berbagai upaya kaum intelektual orang Wajo  dimasa lampau,  dapat  dikatakan merupakan sesuatu  warisan yang amat berharga,   ibarat sebutir mutiara yang terpendam  dalam laut . Buku “Lontara Sukkuna Wajo adalah salah satu dari  mutiara yang terpendam  itu. Karena itu sampai dimana kemampuan kita mengangkatnya  kepermukaan,  sehingga dapat bermanfaat untuk   menambah  rangkaian    untaian  mutiara yang sudah ada.
Di tanah Bugis , rakyat  sudah  ada lebih dahulu   daripada  raja.  Sebuah adagium dari Lontara La Toa menyatakan bahwa :  Raja tanpa Rakyat bukanlah Raja, sementara Rakyat tanpa Raja, tetaplah ia Rakyat.  Pemikiran inilah  kemudian  melahirkan   salah satu bentuk   tradisi budaya  Bugis, dalam Lontara “Sukkuna Wajo”  menyebutkan bahwa,  apabila  rakyat tidak  senang  dengan  cara cara seorang raja menjalankan  pemerintahan,  maka rakyat  dapat  saja bertindak memakzulkan, atau melakukan apa yang disebut  Mallekke dapureng  (berpindah tempat),   ketempat lain untuk mendirikan komunitas baru yang lebih terhormat dan bermartabat.
Ada beberapa hal  pemikiran dalam peradaban budaya Bugis dahulu kala,    dapat disejajarkan  dengan  berbagai  gagasan  tentang  pluralisme  dan hak asasi manusia,   yang selalu menjadi topik pembicaraan hangat dalam percaturan  dunia global saat  ini,  yang menaruh hormat   terhadap  berbagai gagasan tentang  bagaimana  membangun kesamaan pandangan,    untuk  bertindak dengan menempatkan  factor kemanusiaan pada level  tertinggi.  Hal yang sama juga tercermin    bagaimana kebudayaan Bugis menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.  Seperti halnya  dalam  kesetaraan gender,  bukan hanya pada  laki laki dan perempuan, tapi juga  bagi gender ketiga,  keempat dan ke Lima  (calabai, calalai dan Bissu), dan bagaimana perempuan  menduduki tempat yang benar-benar sejajar dengan lelaki, dengan kemampuan   menjadi  raja yang setara dengan laki laki dalam menjalankan roda  pemerintahan  dan kebijakan-kebijakan kerajaan. Pada  sejumlah peristiwa, perempuan Bugis telah mampu memperlihatkan  keberaniannya, dalam menandaskan keputusan-keputusan penting yang mempertaruhkan masa depan kerajaan. Kesetaraan gender dan penyediaan ruang pada gender yang lain,  itu adalah sebagian dari hal-hal yang membuat tercengang,  banyak penjelajah Eropa yang pernah singgah di tanah Bugis. Dan  mereka  mengakui   kalau memang banyak hal  dalam  peradaban suku    Bugis yang tampak mendahului zamannya, 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar