Selasa, 04 April 2017

BUDAYA 3 S SIPAKATAU SIPAKALEBBI SIPAKAINGE










JUAL E-BOOK
JUDUL         : BUDAYA 3 S (SIPAKATAU,SIPAKALEBBI SIPAKAINGE)
HARGA       : Rp. 30.000.
Yang berminat hubungi Wirasandi Risani
No. HP         : 085 103481919
No. Rek       : 1520014105130




SUNTINGAN……….
Manusia tidak hanya sebatas menjadi homo, tetapi harus meningkatkan diri menjadi homo sapiens. Manusia harus memiliki prinsip, nilai,dan rasa kemanusiaan yang melekat pada dirinya, karena. manusia memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa dan perikemanusiaan.
Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantiasa menghargai dan menghormati harkat & derajat manusia lainnya. Memanusiakan manusia adalah, tidak menghardik, tidak bersifat kasar, tidak menyakiti, dan prilaku-prilaku lainnya. Memanusiakan manusia berarti memanusiakan antar sesama manusia.  Dalam hal ini akan menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia. Bagi orang lain memberikan rasa percaya, hormat, kedamaian, dan kesejahteraan hidup. Sebaliknya, sikap  yang tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendahkan harga diri dan martabatnya sendiri,  sebagai   makhluk yang mulia.
Sejarah membuktikan bahwa perseteruan,pertentangan dan peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia, disebabkan  karena manusia belum mampu memanusiakan, manusia lain dengan  sikap dan perilaku manusia, yang  didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang disebut sipktau (Sipakatau) atau saling memanusiakan.
Prinsip egaliterianisme tentang kemanusiaan yang tidak membeda-bedakan  dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit, suku, agama, ras,   dan status sosial, sebagai makhluk tuhan dimana harkat dan martabatnya sama dihadapan Tuhan. Karena itu sudah selayaknya kita bersikap manusiawi terhadap orang lain, apapun latar belakangnya.
Kelebihan manusia  dengan akal budinya, juga memiliki kekurangan dibandingkan makhluk lainnya. Begitulah indahnya kehidupan. Dengan hanya mengandalkan akalnya, manusia dapat berdigdaya menundukkan alam ini. Manusia harus dimanusiakan. Seorang manusia berbeda antara satu dengan lainnya.  Namun sekali lagi manusia adalah manusia. Disamping memiliki kekhasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, terdapat pula kesamaan antara seorang manusia dengan manusia lain.
Pada dasarnya unsur sifat sipktau  Sipakatau dalam, budaya suku Bugis Makassar,  guna  menjaga  budaya  dalam kehidupan,  bermasyarakat dan berbangsa  pada dasarnya berasal dari,  prinsip hidup  yang disebut  siriSiri” dan  pEes  Pesse  Yang merupakan  aplikasi  kemanusiaan yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari hari, baik dalam interaksi secara individu, bermasyarakat dan berbangsa, sebagai pegangan hidup. Karena itu  setiap oarng  Bugis, selalu dituntut   menjadikan “Siri” sebagai jiwanya. Karena jiwa  siri Siri” inilah yang menunjukkan apakah ia masih pantas disebut manusia  atau bukan. Sehingga ia harus  patuh dan taat terhadap :

1.      adE Ade’, (Hukum) 
2.      pGdErE Pangadereng, (Peradaban), dan
3.      api kel Ampi kale ( Selalu menjaga diri dari sifat  etika dan moral) .
” Pada   prinsipnya siri “Siri” dan pEesPesse  bagi setiap manusia Bugis  dituntut untuk selalu menegakkan harga diri dan kehormatan baik bagi dirinya, keluarganya, serta  bangsanya. siriSiri” dan pEesPesse” tidak hanya menyangkut dialektika tapi juga diwujudkan dalam tindakan,   secara umum.
Kehormatan dan kemuliaan yang menjadi tafsir umum sirSiri’   tak hanya sekadar menyangkut pada  kehormatan diri setiap  pribadi manusia.    Namun juga pada saat yang sama pEesPesse  atau rasa empati juga perlu dimanifestasikan untuk  menjaga kehormatan  orang lain ataupun anggota masyarakat lainnya. Penghargaan  untuk memuliakan terhadap sesama manusia,  dalam  tatalaku pEesPesse”, atau rasa empati akan nasib sepenghidupan masyarakat sekitarnya. siri Siri’ dan pEes “Pesse, adalah ibarat sebuah konstruksi  bangunan lahir dan bathin  dalam tubuh manusia  suku Bugis  Makassar
 

Minggu, 26 Maret 2017

TOSORA MEMBARA





JUAL E-BOOK
JUDUL : TOSORA MEMBARA.
HARGA ; Rp. 30.000.
YANG BERMINAT HUB. WIRASANDI RISANI
NO.HP 085103481919
NO.REK. 1520014105130 BANK MANDIRI
AN. WIRASANDI




BAB I

AWAL SEBUAH PERJUANGAN

Alkisah masa dahulu, tersebut kesatria dari kerajaan Wajo bernama Latenrilai to Sengngeng, menjelang dewasa  rupanya jiwa merantau dan keinginan berlayar, dari  warisan  darah  leluhur mulai  tumbuh.  Semangat  cinta pada   laut   semakin  menggelora  begitu  kuat tertanam pada dirinya, apalagi setelah mendengar  kota  Makassar,  telah menjadi  pusat  bandar perdagangan  yang begitu maju. Hasrat berlayar dan  berdagang tidak terbendung lagi, maka ia panggil beberapa  sahabat dan lebih Sepuluh  anak buahnya, agar beramai ramai mengumpulkan uang  bersama,  guna  membeli  barang barang hasil bumi, untuk  dijual ke Makassar.
Dan tibalah  hari  yang dinanti  nantikan  untuk berangkat,  kala  itu  mentari bersinar  cemerlang,   layar sudah dikembangkan, jangkar sudah ditarik, mengawali sebuah babak baru dalam kehidupan La Tenrilai to Sengngeng, ketika  perahu menjelang berangkat, ia berdiri  tegak di haluan,  getar suaranya terasa  menggema dilaut  berkata, lihaaat...!!!  gelora ombak beriring   sedang menyambut,   angin semilir dari buritan kan mengantar kita ketempat tujuan,  kota Makassar yang telah lama  kita impi impikan. Menjelang malam mereka bersantap makan sambil bergurau, salah satu diantaranya berkata puang (panggilan  Yang dipertuan bagi La Tenrilai to Sengngeng) pandang ke langit puang, bulan purnama mulai merangkak naik. Ya,  kata La Tenrilai, ibarat gadis sedang tersenyum sambil menyanyikan kidung kidung tembang kenangan tentang gairah hidup. Secercah cahaya diantara jutaan bintang yang beredar tanpa benturan, lepas,   tanpa ikatan. Sebab inilah guratan hukum  kebebasan  bagi pelaut, meniti  buih di laut lepas,  terkadang    burung camar  terbang menari nari diatas  layar  sebagai pengusik kesepian, sementara  kita sedang merenung  mencari hakikat arti  hidup dan kehidupan, tentang takdir kita.
Menjelang pagi tampil seorang pelaut dan berkata, Puang !, kau telah memimpin hasrat kami ke Makassar, lihat didepan,  awan gelap telah menanti pertanda akan datangnya badai, mungkinkah  ombak ganas  datang  menjemput?, yang  akan  menenggelamkan mimpi kita  sampai di Makassar?.
Mendengar perkataan tadi, tiba tiba seorang kakek yang selalu dipanggil Lato’e, berteriak,.....” dengarkan semua wahai  anak anaku yang ada diatas perahu,“Toddo manengngi ri ati’ta, makkeda, de’ nalabu matanna essoe ritengngana bitarae  artinya  “ Tancapkan keyakinan hingga kehulu  hati bahwa tidak akan tenggelam matahari ditengah hari. Maknanya tidak terjadi sesuatu bila  belum waktunya.
Dan tidak lama kemudian apa yang diperkirakan,  benar benar telah terjadi, ombak silih berganti datang menghempas perahu, menyebabkan perahu timbul tenggelam. Saat saat menegangkan mulai merambah pada siapa yang kurang mampu bertahan, tiba tiba La Tenrilai to Sengngeng berteriak “ Tidak seharusnya seorang   diantara kita,  dapat disebut penakut menantang badai, atau apapun selain sang chalik,  sebab taruhannya hanya hidup atau mati, apalah arti hidup kalau tidak berani bercanda dengan maut, dan apalah arti maut kalau tidak berani menantang  hidup.  Mati ...baru dapat dikatakan berarti bila kita dapat menoreh arti pada hidup dan kehidupan.  Sekarang kita sedang merajut hidup dan kehidupan, tanggalkan semua rasa dan pikiran yang dapat menimbulkan  rasa takut, rasa ngeri, tatap badai ini dengan senyum untuk membuktikan bahwa kita  ini adalah  pelaut ulung  dan  laki laki sejati, yang dapat dipertaruhkan atau  diletakkan sebagai  taruhan pada jalan yang benar.
Sejenak kemudian seluruh  awak perahu, bangkit dengan tegar sambil menatap badai,  dan berusaha berpegang pada apa saja, yang dapat menjaga keseimbangan tubuhnya.
Menjelang sore badai perlahan lahan mulai reda, dan menjelang malam ombakpun sudah tenang,
Menjelang  malam ke Tiga para  awak perahu terlihat santai  karena  alunan ombak begitu tenang,  hanya terdengar desiran  perahu  memecah  ombak. 



Salah seorang bicara,  Lato ...!  tolong ajarkan  segala ilmu yang  selama  ini kau pendam,   agar  darahmu dapat menembus urat nadi kami,  dengus  napasmu  dapat  menyentuh   hati kami,  dengan harapan  semoga kami dapat mengerti, dan memahami    bekal  apa  sebaiknya  untuk dibawa  mengarungi  samudera  kehidupan.
Wahai anak anakku.... seperjalanan dan seperjuangan,  malam ini bulan  kembali  membias diatas  hamparan  laut.   Bahaya  samudera telah  kita arungi  besama, amukan  angin topan  dan badai  usai  kita hadapi. Namun sebelum kita  menapaki jalan  yang  ujungnya  bercabang nanti, dan seorang diri dari kita pasti pergi menuju ujung pengembaraan. Maka sebelumnya aku akan memberikan hasil panen yang kau pinta   selama  ini  kusimpan.  Anak anakku  seperjuangan  yang kucintai,  ingatlah ini  bukan pemberian  kuajarkan  melainkan pengertian disertai pemahaman, bayangan  kehidupan dalam jiwa kalian tidak lain dari kehidupan itu sendiri. Dan kaulah  cermin kehidupan  karena kau dan kehidupan satu jua, menyatu dalam pelukan ilahi.

Setelah 4 hari 4 malam mengarungi laut, pada hari ke 5, nampaklah bandar  Makassar dari jauh, kelelahan dalam perjalanan mulai pulih, oleh kegembiraan,   karena tidak lama lagi  perahu  akan berlabuh, pada bandar  yang diimpikan selama ini. Setelah perahu berlabuh mereka belum langsung turun, masih melewati satu malam lagi diatas perahu dan baru  keesokan harinya mereka turun sambil membongkar barang bawaannya.
Setelah  transaksi barang barang yang dibawa La Tenrilai to Sengngeng, telah selesai semua, merekapun naik kembali keperahunya untuk istirahat, pada malam hari sesudah  makan malam,  mereka pada berkumpul di geladak sambil berceritera tentang kekagumannya atas bandar Makassar, yang ramai didatangi bangsa asing dari luar. Belum lama  berceritera, tiba tiba mereka kedatangan tamu, yaitu saudagar  yang  telah membeli  semua  barang barangnya bernama Ambo Saro, ditemani oleh Dua orang pengawalnya.  Saudagar tersebut juga berasal dari Wajo,  tapi ia  lahir di Makassar, karena sebelum itu kakeknya terlebih dahulu merantau ke Makassar. jadi kekayaan yang dimilikinya adalah masih merupakan warisan dari kakeknya. Setelah Ambo Saro  dipersilahkan naik ke perahu, maka iapun naik dan langsung dipesilahkan duduk di geladak. Setelah itu, awak perahu menyampaikan  La Tenrilai bahwa  Ambo Saro datang bertamu dan sekarang ia ada di geladak.  La Tenrilai pun naik ke geladak dan menemui tamunya,  setelah keduanya bersalaman,  kemudian La Tenrilai menyatakan kegembiraannya atas kunjungan Ambo Saro, sebab perjumpaan antara sesama  asal daerah di perantauan merupakan kepuasaan tersendiri.
La Tenrilai berkata : karena saya melihat daeng (Sebutan kakak bagi golongan orang biasa) jauh lebih tua dari saya, tentunya banyak  hal hal yang daeng ketahui selama ini tentang situasi kerajaan Gowa serta perkembangannya.
Ambo Saro menjawab : Apa yang Karaeng ( Karaeng  sebutan bagi bangsawan di Makassar, walaupun itu bangsawan dari daerah lain) ingin ketahui mudah mudahan saya bisa memberi penjelasan, karena tentunya tidak semua masalah saya ketahui.
La Tenrilai berkata : Tahukah daeng tentang riwayat Sombaiya ri Gowa Sultan Hasanuddin hingga ia diangkat menjadi Raja di Kerajaan Gowa.
Ambo Saro menjawab : Menurut pengetahuan saya bahwa, Sultan Hasanuddin lahir pada tanggal 12 Januari 1631,  dengan nama kecil  I Mallombasi  daeng Mattawang Karaeng Bontomangape.   Ayahnya bernama I Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya bernama I Sabbe To’mo Lakuntu, Putri bangsawan Laikang  merupakan  salah satu  istri Sultan Malikussaid.Kemudian Sultan Hasanuddin  menikahi I Bate Daeng Tommi atau I lo’mo Tombong Karaeng Pabineang. I Bate Daeng Tommi adalah putri I Mangngada’ Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang mangkubumi Kerajaan Gowa.
La Tenrilai  berkata : Apakah seorang raja di kerajaan Gowa berdasarkan keturunan atau dipilih oleh dewan adat sebagaimana  di kerajaan Wajo?
Ambo Saro menjawab : Untuk itu saya belum paham betul Karaeng, karena pada waktu Sultan Hasanuddin dilahirkan hingga masa kecilnya, ayahnya Sultan Malikussaid belum  menjadi raja Gowa, sementara Sultan Hasanuddin pelanjut orang tuanya sebagai raja Gowa.
La Tenrilai sebagai  seorang ksatria  yang  tidak mau  kalah  ingin mengetahui, dan menjajaki apa kelebihan Sultan Hasanuddin sehingga  mampu  menguasai kerajaan kerajaan Bugis seperti kerajaan Bone,  kerajaan Soppeng termasuk kerajaan Wajo. Hal ini membuat La Tenrilai melanjutkan pertanyaannya : Apa kelebihan  pribadi  Sultan  Hasanuddin yang daeng ketahui selama ini ?.
Ambo Saro menjawab : Menurut  apa yang saya dengar  sejak kecil  ia telah menunjukkan kelebihan dari saudara saudara tirinya yang lebih tua, karena Sultan Hasanuddin,  memiliki kecerdasan dan kerajinan  dalam belajar sangat menonjol.  Disamping itu ia  hanya punya saudara sekandung   perempuan   bernama   I Sani atau I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne yang kawin  dengan Ambela Abdul Khair Sirajuddin Sultan Bima.
La Tenrilai  setelah mendengar penjelasan tersebut, ia tertarik dengan kisah perkawinan saudara perempuan Sultan Hasanuddin dengan Sultan Bima. La Tenrilai kemudian tertunduk sejenak sambil berpikir  bahwa  rupanya sistim perkawinan antar  Dua kerajaan merupakan sebuah taktik pertahanan yang paling ampuh, karena disamping menjaga serangan kerajaan yang dianggap kuat, juga dapat dijadikan sekutu. Dalam hatinya,  La Tenrilai sangat  memuji taktik Sultan Bima Abul Khair Sirajuddin, yang telah mengawini adik perempuan   Sultan Hasanuddin,    untuk   menangkal  serangan  kerajaan Gowa yang telah mendominasi kawasan Nusantara bahagian timur.
Selanjutnya La Tenrilai berkata : Sejak kapan Sultan Hasanuddin dinobatkan sebagai Raja Gowa atau Sombaiya ri Gowa.
Ambo Saro menjawab : Saya turut menyaksikan penobatan Sultan Hasanuddin pada bulan Nopember tahun1653 atau 2 tahun yang lalu.
La Tenrilai meng-angguk angguk  sambil berkata : kalau begitu Sultan Hasanuddin dinobatkan jadi Raja Gowa dalam umur 22 tahun. Luar biasa, luar biasa,  hanya dalam umur 22 tahun  ia  sudah diberi tanggung jawab yang begitu besar, sebab disatu sisi ia harus tetap mempertahankan kerajaannya atas dominasi dengan beberapa kerajaan di kawasan timur Nusantara, juga disisi lain ia harus mempertahankan Kerajaan Gowa dari serangan kompeni Belanda.
Dijawab Ambo Saro : Iye karaeng.Memang benar , Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa  diberi tanggung  jawab  untuk melindungi  kerajaan  kerajaan,mulai dari  kawasanPulau Sulawesi hingga  Maluku. Sehingga  hal ini mematahkan  kehendak  kompeni  Belanda untuk menguasai perdagangan rempah rempah  di Maluku. 
Setelah Ambo Saro, puas berceritera dengan La Tenrilai to Sengngeng, tidak lama kemudian iapun memohon diri.
Melihat awak kapal sudah puas   mendengar ceritera  dari Ambo Saro, kemudian La Tenrilai to Sengngeng, berkata : Baru kemarin kita dihantam gelombang laut, rupanya kita harus bersiap siap mengahadapi gelombang perang dengan kompeni Belanda, yang akan lebih dahsyat lagi, sebab saya telah mendengar tadi dari pembicaraan orang orang  Makassar, bahwa sudah tidak sedikit korban yang jatuh di kedua belah pihak antara satria Makassar dengan kompeni Belanda. Ini baru pemanasan, karena kompeni tetap bersikeras untuk menguasai laut dan perdagangan hasil bumi utamanya rempah rempah. Jika sekira nantinya dalam perjalanan pulang kebetulan bertemu dengan kapal kapal kompeni,  apa  yang kita bisa perbuat. Sementara kita belum siap dari segi persenjataan utamanya meriam. Karena itu rencana untuk membeli berbagai keperluan keluarga di daerah, terpaksa kita rubah untuk membeli meriam sebagai persiapan untuk melakukan perlawanan, dan bagi kita rupanya ini sebuah harga mati. Salah satu dari awak kapal  nyeletuk, bagaimana puang bisa mendapatkan meriam meriam itu. Dijawab La Tenrilai saya akan menghadap,  Sombaiya ri Gowa  (Raja Gowa) Sultan Hasanuddin untuk minta bantuan,  agar kita bisa mendapatkan persenjataan  dan meriam.
Keesokan harinya La Tenrilai dengan dikawal 5 orang, ditambah 1 orang juru bicara yang tahu bahasa Makassar  dan juga bahasa Bugis,  berangkat menuju istana Sultan Hasanuddin.
Sesampainya di Istana juru bicara tersebut menyampaikan kepada pengawal istana, bahwa ada bangsawan dari kerajaan Wajo ingin bertemu dengan Karaeng.  pengawal istana menanyakan siapa namanya, juru bicara berbisik,   lalu iapun naik keatas melaporkan kepada Sultan Hasanuddin.
Rupanya gayung bersambut, dengan wajah  berseri seri Sultan Hasanuddin mempersilahkan La Tenrilai  naik menemuinya, dengan disertai juru bicara, sementara pengawalnya menunggu dibawah. Setelah La Tenrilai naik, langsung berjabat tangan sambil berpelukan dengan Sultan Hasanuddin, kemudian La Tenrilai  dipersilahkan duduk.
Sultan Hasanuddin kemudian menanyakan  maksud kedatangannya, sambil memandang La Tenrilai, dalam hatinya berkata anak muda ini begitu nampak gagah dan bernyali.
Dijawab Latenrilai bahwa  dengan melihat  aktivitas  kompeni Belanda semakin meningkat  dilaut, demi untuk  mempertahankan diri,  kami  sangat mengharapkan Karaeng  (Raja)   kiranya berkenan membantu kami  agar bisa membeli  Meriam.
Mendengar  itu,  Sultan Hasanuddin  berkata :  Cuma waktunya  agak lama, kira kira  5-6 bulan baru bisa barangnya datang. 
La Tenrilai  menjawab  bahwa tidak apa  Karaeng yang penting  kami bisa dapatkan.
 Berkata Sultan Hasanuddin tentu  saja  saya akan  usahakan,  karena kerajaan Gowa  juga   berkepentingan  didalamnya,   mengingat kerajaan  Wajo  adalah sekutu  kami  dalam persiapan  menghadapi  nantinya  serangan   La Tenritatta  yang dibantu oleh kompeni Belanda.  
Berkata  La Tenrilai,  kalau begitu  biarlah  kami  pulang terlebih  dahulu ke Wajo, sambil menunggu  datangnya   Meriam itu.
Berkata Sultan Hasanuddin   kapan rencana kembali ke Wajo.
Berkata La Tenrilai,  kami terlebih dahulu  akan mencari kuda tunggangan,  karena bila kami naik perahu  pulang  khawatir  nanti bertemu dengan  kapal Kompeni,  sementara  kami   tidak mampu  melakukan perlawanan  karena  tidak  memiliki  persenjataan.  Ini  dilaut Karaeng,  kalau  didarat tentunya masih  banyak hal yang dapat kami lakukan   untuk menghadapi  mereka.
Mendengar itu  Sultan Hasanuddin   termenung sejenak  kemudian  berkata,  nanti saya pinjamkan  kuda, ada berapa  kuda  yang dibutuhkan ?
Jawab La Tenrilai cukup 15  ekor,  Karaeng.
Sultan Hasanuddin  berkata, kapan rencana  pulang?
Jawab La Tenrilai  kalau  bisa   lusa Karaeng.
Baiklah kata Sultan Hasanuddin.
Sesudah itu  La Tenrilai pun  memohon  permisi untuk kembali  ke perahunya.
Sultan Hasanuddin  berkata :  sampaikan terima kasih saya, kepada Arung Matowa  Wajo  atas kesetiaan  yang ditunjukkan  selama ini,  selaku sekutu   kerajaan Gowa dalam menghadapi Kompeni Belanda.
Dalam perjalanan pulang ke Wajo, ketika melewati Camba,
La Tenrilai  memandang malam yang pekat dengan hati  yang cukup tegar .  "Berdoalah" bisik La Tenrilai kepada pengawalnya "Tuhan bersama kita"