JUAL
E-BOOK
JUDUL : SIRI & PESSE
HARGA ; Rp. 30.000.
YANG BERMINAT HUB. WIRASANDI RISANI
NO.HP 085103481919
NO.REK. 1520014105130 BANK MANDIRI
AN. WIRASANDI
JUDUL : SIRI & PESSE
HARGA ; Rp. 30.000.
YANG BERMINAT HUB. WIRASANDI RISANI
NO.HP 085103481919
NO.REK. 1520014105130 BANK MANDIRI
AN. WIRASANDI
KATA
PENGANTAR.
Siri’ dan Pesse yang merupakan judul buku ini adalah sebuah bentuk
aqidah tersendiri dari hasil narasi, yang telah membudaya dalam kehidupan pada diri manusia Bugis Makassar, dan telah
berlangsung lama. “Siri” dan “Pesse” didalamnya terkandung
berbagai unsur dan nilai seperti,
“Moral, etika, harga diri,
kehormatan, kemuliaan, hukum, etos
kerja, kejuangan, motivasi dan
inovasi. Yang merupakan sebuah prinsip hidup yang berlaku, dalam seluruh sendi sendi kehidupan baik
bersifat individual maupun secara collectif. Dan telah berlaku dalam masyarakat
Bugis Makassar, sejak beberapa abad yang lalu hingga abad ke XVIII. Sebab menurut pengamatan
penulis, bahwa sesudah abad XVIII
nilai nilai “Siri” dan “ Pesse”
sudah mengalami kontaminasi dan
akulturasi oleh budaya barat
ketika tanah Bugis Makassar dijajah
oleh bangsa Belanda.
Hal ini juga sejalan dengan penuturan Prof.Dr.Mr. Andi Zainal Abidin
Farid.SH yang mengatakan bahwa, Suatu
saat kami diundang oleh seorang wanita
ahli anthropologi Bugis Makassar Dr.Shelly Errington berbangsaan Amerika. Dalam pertemuan tersebut hadir hampir seluruh pakar tokoh
budaya Bugis Makassar, kemudian ia
mengatakan bahwa “Saya datang ke
Sulawesi selatan untuk melihat langsung
manusia Bugis Makassar, namun setelah saya tiba disini, saya sangat kecewa,
karena manusia Bugis yang saya bayangkan
dan saya kenal dalam buku ternyata
manusia Bugis Makassar itu ,
sudah tidak ada lagi, yang ada tinggal hanya namanya saja”. Shelly Errington ,menyatakan hal
tersebut ketika ia datang untuk
melakukan riset tentang Siri’ na
Pesse di tanah Bugis tahun 1977 menyimpulkan bahwa : “Melakukan
kekerasan terhadap orang lain hanya karena alasan politik atau ekonomi dianggap
hina dalam masyarakat Bugis. “Siri’
bukanlah kekasaran, melainkan sportifitas
yang juga perlu ditunjukkan dengan perasaan halus dan berbudi ke sesama manusia
(Pesse)”.
“Siri” dan “ Pesse” yang merupakan pegangan hidup falsafah hidup manusia Bugis Makassar , juga
menuntut setiap orang Bugis Makassar
untuk menjadikan “Siri” sebagai jiwanya. Karena jiwa “Siri”
inilah yang menyebabkan orang Bugis Makassar
patuh dan taat terhadap :
a. Ade’,
(Hukum)
b. Pangadereng,
(Peradaban), dan
c. Ampi kale ( Selalu
menjaga diri dari sifat etika dan moral)
.
Oleh karena
itu prinsip “Siri” dan “Pesse” sejatinya
wajib tetap dipelihara dan dirawat guna mencegah orang
untuk tidak akan melanggar Ade’(Hukum), Pangadereng,
(Peradaban) dan Ampi kale (menjaga Etika
dan moral).
Menurut Prof.DR.Mr. Andi Zaenal Abidin Farid.SH.
bahwa “Siri” dan “Peess” bagi orang Bugis Makassar hampir sama dengan
semangat “Bushido” dan “Maiyo”
dalam budaya Jepang. Ungkapan diatas menunjukkan betapa “Siri” dan “ Pesse” merupakan lokomotif dari kehidupan orang Bugis
Makassar, dan merupakan modus dari kehidupannya, menjadi sumber
inspirasi untuk mengembangkan potensi kreatifitas atau daya cipta manusia. Dan
“Siri” juga dapat merupakan kekuatan untuk memperkuat daya juang seorang
manusia Bugis, dalam menghadapi berbagai
tantangan dalam kehidupannya. Karena
itu budaya “Siri” dan “Pesse” bagi orang Bugis Makassar merupakan
etos yang dapat di sejajarkan
dengan etos budaya Jepang yaitu semangat “Bushido” dan “Maiyo”
sebagaimana yang dikatakan :,”Resopa natinulu temmangingngi, malomo
naletei pammase dewata “
Artinya : Hanya dengan kerja keras dan
kerajinan yang tak kenal lelah akan mendapatkan rachmat dari tuhan yang maha
esa.
:” Pada hakikatnya prinsip “Siri”
dan “ Pesse “ dimana setiap
manusia Bugis Makassar dituntut untuk
selalu menegakkan harga diri dan kehormatan baik bagi dirinya, keluarganya,
serta bangsanya. “Siri” dan “Pesse”
tidak hanya menyangkut dialektika tapi juga diwujudkan dalam tindakan, secara umum.
Kehormatan dan kemuliaan yang menjadi tafsir umum “Siri’ dan “Pesse” tak hanya sekadar menyangkut
pada kehormatan diri setiap pribadi .
namun juga pada saat yang sama “Pesse” atau rasa empati juga perlu dimanifestasikan
untuk menjaga kehormatan orang lain ataupun anggota masyarakat
lainnya. Penghargaan untuk memuliakan terhadap
sesama manusia, dalam tatalaku “Pesse”, atau
rasa empati akan nasib sepenghidupan masyarakat sekitarnya. Siri’ dan “Pesse, adalah ibarat sebuah konstruksi bangunan lahir dan bathin dalam tubuh manusia Bugis Makassar.
BAB I
MAKNA “SIRI’ DALAM
BERBAGAI PANDANGAN
Menurut Dr.
Shelly Erringtong dalam ceramahnya di Universitas Hasanuddin
pada tahun 1977 memaknai “Siri”,
dimana ia mengatakan “
“Untuk orang Bugis Makassar tidak ada tujuan atau alasan hidup yang
paling tinggi nilainya daripada menjaga Siri’nya
dan kalau merasa dipermalukan (Ripakasiri’)
atau (Nipakasiri’),
mereka lebih memilih mati dalam sebuah pertarungan dalam menegakkan “Siri”nya (Menegakkan harga dirinya), daripada hidup tanpa “Siri”
Menurut
Prof.Dr. Y.Leonard.
Andaya sejarahwan yang pandai berbahasa
Bugis dan membaca Lontara’ yang mula
menemukan dwi-konsep yaitu Siri” na “Pesse (Siri
dan Pacce) yang lebih luas pandangannya, menyatakan
:
“ Istilah “Siri” berisi makna yang nampaknya saling bertentangan yaitu :
penghargaan diri dan rasa hormat pada orang lain (Self respect) Suatu situasi (maksudnya situasi penodaan “Siri’
) terjadi apabila seorang individu merasa bahwa kedudukannya atau prestise
sosialnya didalam masyarakat atau rasa harga dirinya dinodai oleh seseorang,
yang telah dituduh melakukan sesuatu yang tercela, secara keliru dan tidak
adil, sedang ia tidak pernah melakukannya. Didalam masyarakat ini, rasa
keadilan timbul aksi yang serta merta dan sangat keras. Walaupun orang Bugis
akan menerima tanpa perlawanan sebuah perlakuan kejam, jika ia memang merasa
bersalah. Akan tetapi sebaliknya mereka akan memberikan reaksi keras dan merasa
hebat terhadap apa yang dilakukan, karena ia yakin bahwa ia dipihak yang benar.
Dan apabila seseorang telah dinodai Siri’nya, maka ia oleh masyarakat
dituntut untuk mengambil langkah langkah guna memulihkan harkat dan martabat
dirinya, sesuai pandangan dan penilaian masyarakat. Masyarakat menghendaki
seseorang yang telah dinodai harkat dan martabatnya untuk menindak si pelanggar
(Orang yang menodainya) oleh karena menurut masyarakat Bugis bahwa, lebih baik mati
dalam mempertahankan dan menegakkan harkat dan martabatnya. “
Menurut Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amirullah) (1977.176) menguraikan makna Siri’
dipandang dari segi ajaran Islam sebagai berikut :
Pertama : Dipandang dari sudut
ajaran Islam, maka menjaga “Siri” itu sama artinya dengan
menjaga syariat. Menjaga harga diri dipandang dari segi ilmu Akhlak, adalah suatu kewajiban mulia
yang paling tinggi, sehingga ada syair “ Jika engkau tidak pelihara hak dirimu,
engkau meringankan dia, orang lainpun akan meringankannya, sebab itu hormatilah
dirimu dan jika suatu negeri sempit buat dia , pilih tempat lain yang lebih
lapang. Jikalau orang yang memakai Siri’ Islam ini bertemu perbuatan
dengan orang lain yang akan merendahkan martabatnya, jadi hina, dia pasti
membalas, disinilah pepatah terkenal “Annaar
lal aar” artinya : Lebih baik baku
tikam daripada menanggung rasa malu. Tetapi Siri’
yang demikian ini, menurut Islam harus dipelihara dari segala seginya.
Meneguhkan iman dan tawakkal kepada Allah, sebab iman dan tawakkal kepada Allah
akan menimbulkan Nur atau cahaya pada
diri seorang mu’min, sehingga walaupun tidak bercakap sepatah jua pun, cahaya
imannya telah memancar dari matanya, sehingga menimbulkan pengaruh kepada alam
yang berada disekelilingnya. Sehingga orang yang tadinya berniat jahat kepada
orang yang ber-iman, baru melihat matanya sebentar saja, orang yang berniat
jahat itu tidak dapat menantang lama, dan mesti tunduk pada orang yang teguh
imannya itu, mempunyai akhlakul kharimah
atau budi pekerti yang mulia.
Selanjutnya dalam pandangan
Buya HAMKA bahwa menurut Imam Ghazali bila dikaitkan
dengan “Siri’ yang sejati, dimaknai
sebagai rasa malu termasuk Iman,
tegasnya orang yang tidak bermalu adalah orang yang tidak beriman. Dan sebuah
Hadits lain menyatakan : “Apabila engkau tidak merasa malu, maka berbuatlah
sesuka hatimu”.
Kedua.
Prof.Dr. HAMKA (loc.cit) “Siri’ itu menimbulkan tawadhu dan
sifat terpuji yaitu mahaudah yang terdiri atas :
a. Sabar artinya, yaitu dapat mengendalikan
diri ketika marah
b. Iffah artinya yaitu dapat menahan hawa
nafsu ketika hendak didorongkan.
c. Sajaah artinya : berani karena benar,
yakin dan sanggup mempertahankannya dimana saja.
d. Adil artinya pertengahan.
Lawan dari Siri’ menurut HAMKA adalah, bodoh, dungu, dzalim, syahwat, dan
ghadab. Dzalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan
syahwat berarti rakus, tamak, menerima mau banyak, tapi tak mau memberi. Adapun
ghadab berarti dendam, irihati, angkuh, sombong, dengki,dan benci. Orang yang
bersifat demikian jika berkuasa akan menindas, tidak memiliki kepedulian, suka
menjilat, mengambil muka,kehilangan harga diri, dan kepada orang kuat ia jadi
pengecut dan penakut,
Ketiga.
Prof.Dr. HAMKA mengatakan :
Bila Siri’ ditinjau dari
ajaran Islam, adalah se-mata mata akibat kuatnya iman seseorang, sebab orang
yang kuat imannya pastilah memiliki akhlak yang tinggi, demikian kesimpulan
HAMKA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar