Minggu, 26 Maret 2017









JUAL E-BOOK
JUDUL : RINTIHAN WANITA DALAM PELUKAN BATARA WAJO
HARGA ; Rp. 30.000.
YANG BERMINAT HUB. WIRASANDI RISANI
NO.HP 085103481919
NO.REK. 1520014105130 BANK MANDIRI
AN. WIRASANDI





  EPISODE III

LA PAWE MEMBEBASKAN PENDUDUK DARI RASA KETAKUTAN


Sementara itu pun, langit menjadi semakin lama semakin terang. Warna yang kelam seakan-akan sedikit demi sedikit larut dihanyutkan oleh angin pagi. Bintang-bintang yang masih gemerlapan, semua tenggelam dalam cahaya yang semakin terang. Dan bintang pagi pun kemudian sinarnya menjadi pudar dan lenyap ditelan cerahnya sinar matahari pagi.
Demikian akhirnya malam itu pun lenyaplah. Kampung Sakkoli itu kini kembali ditimpa oleh sinar matahari. Namun kampong  itu tidak segera terbangun. Seakan-akan seseorang yang sedang sakit parah, yang tetap tinggal di pembaringannya meskipun matahari telah mencapai tinggi sepenggalah.
Tetapi akhirnya, beberapa orang Sakkoli itu harus ke luar juga dari rumah-rumah mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah dikunjungi oleh Karodda serta diminta untuk datang ke rumahnya mengantarkan barang-barang yang dikehendakinya.
La Pawe pun membenahi diri. Mencuci muka di sumur di belakang rumah. Memperbaiki letak pakaiannya dan kemudian bersama-sama dengan orang tua yang ramah itu, duduk di atas tikar anyaman menghadapi air jahe hangat dan sebongkah gula kelapa.
“Minumlah nak,” orang tua itu mempersilakan, namun ia sendiri tidak mau minum. Lehernya yang telah berkeriput itu seakan-akan telah tersumbat. Meskipun demikian, La Pawe  minum juga beberapa teguk. Alangkah segarnya.
“Sebentar lagi kita harus pergi memenuhi permintaan anak setan itu. Istriku sedang menjemput gadisnya di rumah sebelah. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari malapetaka yang lebih besar. Biarlah aku serahkan perhiasan itu, asal anakku itu tidak diganggunya.”
La Pawe  mengangguk-anggukkan kepalanya. Alangkah sedihnya orang tua itu.
Sesaat kemudian istrinya yang telah tua pula itu pun datang bersama anak perempuan beserta suaminya. Sekilas La Pawe  segera dapat melihat air mata yang membasahi mata yang jernih bulat itu. Sedang suaminya, tidak lebih seorang petani biasa. Bertubuh kecil dan berhati kecil. Sehingga dengan gemetar ia bertanya, “Apakah yang akan dilakukan oleh Karodda bapa’”
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Mudah-mudahan tak akan dilakukan sesuatu.”
“Aku telah membawa semua perhiasan dan kekayaan yang aku miliki. Mudah-mudahan istriku tidak diganggunya.”
Orang tua itu tidak menyahut. Namun istrinya menangis terisak-isak, sehingga anaknya menangis pula. Katanya, “Biarlah aku tinggal di rumah. “
Ayahnya menarik nafas. Tak sepatah kata pun dapat diucapkan, sehingga anaknya itu berkata pula, “Ayah, aku lebih baik mati daripada disentuhnya.
Ayahnya masih terbungkam. Dan bahkan matanya pun menjadi basah pula.
La Pawe  benar-benar tak dapat menahan perasaan harunya. Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Biarlah anak bapa tinggal di rumah bersama suaminya.”
Yang mendengar kata-kata La Pawe  itu terkejut. Orang tua itu berpaling kepadanya sambil berkata, “Aku tidak dapat membayangkan akibatnya.”
“Mudah-mudahan Karodda  melupakannya setelah ia melihat perhiasan bapa dan kerisku ini,” jawab La Pawe 
Orang tua itu berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Hamsemuanya.”
“Tetapi apakah anak bapa itu juga terpaksa dikorbankan seandainya nanti dikehendaki oleh Karodda  itu?”
Orang tua itu terdiam. Istrinya pun terdiam. Namun anak perempuannyalah yang menangis. Dan bahkan suaminya pun menangis.
“Jangan menangis,” minta La Pawe  kepada laki-laki itu, “seharusnya laki-laki tidak menangis.”
Tetapi laki-laki itu menangis terus. Katanya di sela-sela tangisnya, “Saudara tidak merasakan apa yang aku rasakan. Itulah saudara  dapat berkata demikian.”
La Pawe  kini yang terdiam. Ia tidak tahu bagaimana mencoba menghibur mereka. Namun ia menjadi semakin kasihan juga melihat keadaan keluarga yang sedang berduka itu.
Tiba-tiba perempuan tua itu berkata, “Nak”  biarlah suaminya saja pergi bersama-sama bapa’. Biarlah anak ini tinggal bersama aku di rumah. Bawalah semua kekayaan yang ada sebagai tebusannya.”
Laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Akhirnya ia pun berkata, “Biarlah ia tinggal di rumah. Marilah kita pergi apa pun yang terjadi.”
La Pawe  menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Marilah. Kita tebus putri bapa itu dengan kekayaan. Mungkin Karodda akan bergembira karenanya.”
Orang tua itu tidak menjawab. Ditatapnya wajah anaknya dan istrinya berganti-ganti. Kemudian kepada menantunya ia berkata, “Marilah supaya Karodda tidak menjadi kesal menunggu kedatangan kita.”
Maka pergilah mereka bertiga ke rumah Karodda. Dengan wajah tunduk menantu orang tua itu berjalan di sampingnya, sedang La Pawe  berjalan di belakang mereka.
Sekali orang tua itu berpaling sambil bertanya kepada La Pawe  , “Apakah anak sudah ikhlas akan keris itu?”
La Pawe  menarik nafas. Jawabnya, “Keris ini keris peninggalan Bapa.”
“Jadi?”
“Entahlah,” sahut La Pawe  Kembali mereka berdiam diri. Mereka berjalan menyusur jalan-jalan kampung yang sempit, menuju ke rumah Karodda
Akhirnya sampai jugalah mereka ke rumah itu. Rumah yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas. Di halaman itu La Pawe  melibat beberapa orang telah berkumpul dengan berbagai bungkusan di tangan mereka. Namun tampaklah wajah mereka yang suram dan bersedih. Mereka harus menyerahkan beberapa macam benda bagian dari kekayaan mereka.
Ketika orang tua itu sampai di halaman rumah Karodda, maka semua orang yang sudah berada ditempai itu, menjadi heran dan saling berpandangan. Sebagian dari mereka menjadi heran, kenapa orang tua itu pula telah dijadikan korban oleh Karodda ? Dan sebagian lagi heran melihat kehadiran orang yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.
Seseorang yang telah setengah umur segera mendekati orang tua itu sambil berbisik, “Kenapa Kakak datang kemari?”
“Seperti juga kau datang kemari,” jawab orang tua itu.
“Oh, apakah Karodda itu sampai hati juga berbuat demikian kepada Kakak?”
“Ternyata demikianlah.”
Kemudian mereka itu terdiam ketika mereka melihat Karodda keluar dari rumahnya. Dengan wajah yang cerah anak muda itu tersenyum. Kemudian mengangguk kepada semua orang yang telah berada di halaman. Namun sesaat ia, memandang ke seberang halamannya. Dan ternyata di kejauhan, beberapa orang dengan diam-diam ingin melihat apa yang terjadi di halaman rumah Karodda itu. Namun Karodda itu masih saja tersenyum. Kemudian dengan ramah ia berkata, “Alangkah senangnya aku, bahwa kalian masih juga suka berkunjung ke rumah ini. Meskipun belum kalian nyatakan, tetapi aku sudah tahu bahwa kalian telah bersusah payah datang untuk memberikan bekal perjalananku lusa. Sebenarnyalah aku memang hendak bepergian.  , ke pusat kerajaan mengikuti putra raja kita La Pateddungi,  yang hari ini datang juga ke kampung ini.”
Karodda  itu diam sesaat, namun orang yang datang di halamannya mengumpat di dalam hati mereka. 
Kembali Kaarodda  itu berdiam diri. Ditebarkannya pandangan matanya sekali lagi. Ketika ia melihat La Pawe  , maka anak muda itu tersenyum, “Selamat datang Saudara. Ternyata saudara sudi juga berkunjung ke rumah ini.”
La Pawe  pun menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Tentu. Bukankah saudara yang minta kepadaku untuk datang pagi ini?”
Karodda  mengerutkan keningnya, dan orang-orang yang mendengar jawaban itu pun menjadi terkejut. Alangkah beraninya orang itu menjawab pertanyaan Karodda. Namun kemudian mereka menyadari bahwa orang itu belum mengenal siapakah Karodda itu.
Karodda pun kemudian tersenyum pula, “Memang, aku kemarin telah mempersilakan kau datang. Bukankah lebih baik apabila kita memperbanyak sahabat?”
La Pawe  tidak menjawab. Dan dibiarkannya Karodda tersenyum puas. Ia ingin melihat apa saja yang akan terjadi seterusnya di halaman itu. Ternyata Karodda itu pun tidak memperpanjang perkataannya. Dengan singkat kemudian ia berkata, “Nah, aku akan sangat berterima kasih atas pemberian kalian. Karena itu, marilah berikanlah apa yang ingin saudara-saudara berikan itu.”
Suasana kemudian menjadi hening sepi. Tampaklah beberapa orang menjadi ragu-ragu. Sehingga Karodda  itu pun berkata, “Marilah. Satu demi satu, supaya aku dapat melihat barang-barang yang kalian berikan itu. Marilah!” Sebelum putra raja datang.
Maka, sesaat kemudian mulailah orang yang pertama berdiri. Melangkah maju dan menyerahkan bungkusannya kepada Karodda. Dengan tersenyum puas, Karodda membuka bungkusan itu.  . Namun wajah Karodda itu tiba-tiba menjadi gelap. Katanya, “Apakah benda ini sama sekali tidak berbalut emas?”
Orang yang membawa barang  itu terkejut. Dan dengan ketakutan ia menjawab, “Tidak, tidak Pase.”
“He?” potong Karodda, “Sebutlah namaku!”
“Oh,” orang itu semakin ketakutan, “maksudku Karodda.”
Karodda  menarik napas. Tetapi tiba-tiba ia membentak “Bohong! Benda-benda serupa ini biasanya berbalut  emas.”
“Tetapi yang ini tidak Saudaraku,” jawab orang itu, “ini adalah peninggalan Bapakku. Dibuatnya benda ini dengan tangannya sebagai kenang-kenangan pada masa mudanya,  Sehingga sudah tentu kami tidak dapat memberinya emas. Sebab sebenarnya kami tidak pernah melihat, apalagi memiliki emas. Maka …”
“Cukup!” bentak Karodaa, orang itu sedemikian terkejutnya sehingga tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar, “Aku tidak perlu ocehan itu.”
Orang itu ternyata masih ingin memberi beberapa penjelasan, namun mulutnya sajalah yang bergeletar, tetapi tak sepatah kata pun yang dapat lolos dari tenggorokannya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Karodda membentaknya sekali lagi, “Pulang! Jangan menghina aku! Ambil emas yang lain!”
“Itu, itu…,” sahut orang itu terbata-bata, “itu adalah milikku yang paling berharga saudaraku.”
“Pulang, dan ambil yang lain! Dengar?”
“Aku, aku sudah tidak punya apa-apa lagi.”
Karodda itu kemudian menjadi marah. Dengan serta-merta  itu dibantingnya pada sebuah batu.
“Pase” teriak orang itu. Tetapi ia hanya dapat melihat barangnya itu pecah berserakan. Bahkan Karodda  itu masih bertambah marah lagi, karena orang itu menyebut nama aslinya. Karena itu, dengan kakinya yang kokoh kuat Karodda mendorong orang itu sehingga terpental beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah.
Halaman itu menjadi tegang dan sepi. Sesepi perkuburan
Tak seorang pun yang berani memandang wajah Karodda. Namun tiba-tiba mereka yang berada di halaman itu terkejut ketika mereka mendengar Karodda itu tertawa. Kemudian ia berkata lemah, “Ah. Maafkan aku. Aku tidak biasa berlaku kasar. Namun aku sebenarnya tidak mau dihina. Aku tidak mau dihina. Aku tidak akan sakit hati seandainya kalian tidak ingin memberi aku bekal apa pun. Namun aku tidak mau dihina dengan benda-benda serupa itu.”
“Hem,” orang tua di samping La Pawe  menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika Karodda  itu tiba-tiba memandangnya sambil tersenyum. Kemudian dengan hormatnya ia berkata, “Ah, bapa’. Agaknya   datang juga ke tempat yang kotor ini.”
Orang tua itu menjadi berdebar-debar. Apalagi kemudian Karodda itu berkata, “Sebenarnya aku akan sangat gembira apabila bapa’ datang bersama gadis  itu.”
Orang tua itu tidak menjawab. Namun debar di dadanya menjadi semakin cepat. Karena ia tidak menjawab,maka Karodaa itu berkata pula, “bapa’, tidakkah  datang dengan gadis bapa’ itu?”
Orang tua itu menjadi bertambah gelisah. Keringat dinginnya telah mulai membasahi bajunya. Dengan tergagap ia menjawab, “Tidak nak. Aku datang bersama suaminya.”
“Suaminya?” tiba-tiba mata Karodda itu terbelalak. Apakah yang bapa’katakan?”
Orang tua itu telah benar-benar menjadi gemetar. Sehingga kembali mulutnya terbungkam. yang menjawab kemudian adalah La Pawe  .
“Ya saudara. Bapa’ ini datang bersama menantunya.”
Mata Karodda itu kemudian menjadi merah. Dengan liar ia menatap La Pawe  dan laki-laki tua itu berganti-ganti. Kemudian katanya lantang “bapa’, buat apa menantumu itu bagiku?”
La Pawe  menjadi ragu-ragu. Karena itu ia pun kemudian berdiam diri. Dibiarkannya Karodda  menggeram dan kemudian berkata, “Aku sudah mengatakan, seharusnya bapa’datang dengan anakmu, bukan menantumu. Buat apa aku minta menantumu datang?”
Karodda  berhenti sejenak. Kemudian pandangan matanya jatuh kepada menantu orang tua itu. “Ha, kau agaknya menantunya bukan? Jangan ingkar! Isterimu  itu memang cantik. 
Tiba-tiba Karodda itu tertawa. Suaranya menggelegar memenuhi halaman. Karena itu setiap orang yang mendengar menjadi ngeri karenanya. Kemudian katanya meneruskan, “Aku kenal kau sejak kecil dan kau kenal aku sejak kecil pula. Karena itu, marilah kita berbaik hati sesama kita. Tolonglah aku, panggillah istrimu itu! Sebelum “Puang Pateddungi” datang.
Kata-kata itu benar-benar tak dapat dimengerti oleh La Pawe  . Dan ia menjadi semakin tidak mengerti, ketika menantu orang tua itu menangis, “Bagaimana bapa’? Apakah aku harus memanggilnya?”
Orang tua itu pun terdiam. Dan suasana di halaman itu menjadi beku.    
Namun Karodda itu , bahkan ia berteriak lebih keras “Cepat! Panggil istrimu itu sekarang!”
“Anak,” berkata orang tua itu dengan gemetar, “aku telah membawa emas yang kamu  kehendaki, dan menantuku telah membawa perhiasan yang dimilikinya. Sedang tamuku pun telah merelakan kerisnya untuk anak. Apakah  masih memerlukan anakku itu?”
Karodda  sama sekali tidak mau mendengar kata-kata itu. Ia kemudian berteriak tinggi, “Lekas, panggil ia sekarang!” Bukan aku yang memerlukan wanita itu tapi “Paung Pateddungi” putra raja kita.
Namun ketika ia akan berteriak kembali, sekali lagi ibunya menggamitnya dan berkata, “Jangan Karodda, jangan ganggu anak itu.”
Tetapi Karodda itu masih saja tidak mau mendengar kata-kata ibunya itu,  “Diam!” tiba-tiba Karodda itu membentak. Ibunya menjadi sangat terkejut dan bahkan semua orang menjadi terkejut pula. Meskipun demikian ibunya itu meneruskan, “Karodda, aku minta sekali lagi,  “Cepat! Panggil perempuan itu! Aku menghendaki   perempuan itu,  untuk raja !”
“Aku tak mau dihalangi oleh siapa pun juga. Semua kehendakku harus terjadi!” Karena kehendakku adalah kehendak “Puang Pateddungi”
La Pawe  menarik nafas dalam-dalam. Alangkah buasnya anak muda itu. Menilik wajahnya, keluarganya dan keadaan di sekitarnya maka mustahillah bahwa lingkungan itu dapat membentuk orang sekasar Karodda itu. Tetapi kemudian La Pawe  pun memperhitungkan pula kepergian Karodda itu ke pusat kerajaan  sambil berguru selama ia di rantau. Dengan demikian, menurut kesimpulan La Pawe  , pasti lingkungan istanalah  yang telah merusak hidup anak muda itu.
Kini kembali Karodda itu memandangi orang tua beserta menantunya. Sekali lagi ia berteriak, “Aku ingin memberi kalian kesempatan sekali lagi. Panggil perempuan itu. Aku menghendaki sekarang
Orang tua itu menjadi semakin gemetar, dan menantunya menangis lebih deras lagi sambil bertanya, “  bagaimana bapa’?”
“Jangan bertanya lagi! Berdiri dan pergi!” bentak Karodda.
Kali ini Karodda ingin memperlihatkan kepada putra raja, apa yang dapat dilakukannya di kampung halamannya. Karena itu, maka apa yang dilakukannya kali ini benar-benar mengejutkan dan sangat menakutkan bagi penduduk Sakkoli.
Karodda itu pernah datang bersama-sama beberapa prajurit seperguruan. Pernah diambilnya seorang gadis untuk dipersembahkan kepada putra  raja La Pateddungi To Samallangi.   Namun belum pernah Karodda mengundang orang sebanyak ini untuk datang di halaman rumahnya.   termasuk tetua kampung mereka. Bahkan anak perempuannya pula dikehendakinya. Kali ini Karodda benar-benar ingin memperlihatkan kekuasaannya di antara penduduk tempat ia dilahirkan.
Ketika Karodda  itu masih melihat menantu tetua kampung  itu masih belum beranjak dari tempatnya, maka ia pun menjadi semakin marah. Dengan nada yang tinggi ia berteriak, “He, apakah yang kau tunggu? Apakah kau ingin kepalamu bengkak dahulu?”
Laki-laki itu benar-benar menjadi ketakutan. Karena itu dengan gemetar ia berdiri untuk pergi memanggil istrinya.
Tetapi laki-laki itu terkejut, ketika  La Pawe  menggamitnya. Dengan isyarat ia mencegah laki-laki itu. Namun laki-laki itu tidak segera dapat menangkap isyaratnya, sehingga perlahan-lahan La Pawe  berbisik, “Jangan pergi! Lindungilah istrimu itu.”
Laki-laki itu menjadi bertambah bingung. Ia sependapat dengan La Pawe  . Namun ia tidak berani menentang kehendak Karodda.
Ketika Karodda melihat orang itu berhenti, maka sekali lagi ia berteriak, “Apakah kau benar-benar bosan hidup?”
Dengan gemetar orang itu melangkah kembali. Namun sekali lagi La Pawe  mencegahnya. Bahkan kali ini ia menahan tangannya.
“Jangan!” katanya.
Kali ini Karoddda  melihat tangan La Pawe  menarik tangan laki-laki itu. Karena itu betapa ia menjadi sangat marah. Dengan serta-merta ia mengumpat sambil berkata, “Setan!Apakah yang kau lakukan itu?”
“Tidak apa-apa,” jawab La Pawe  , “aku hanya ingin memperingatkannya, biarlah istrinya berada di rumah.”
Wajah Karodda  itu seakan-akan menjadi menyala mendengar jawaban  La Pawe  sehingga agaknya ia perlu meyakinkan pendengarannya.
“He, apa katamu?” Ia bertanya.
Sekali lagi La Pawe  menjawab, “Aku hanya ingin memperingatkannya, sebaiknya istrinya tetap berada di rumah.”
Tubuh Karodda  itu kemudian menjadi gemetar. Kini ia mendengar dengan jelas, apa yang dikatakan oleh orang yang baru saja dikenalnya itu. Katanya, “Saudara, jangan membuat keributan di sini. Apakah kau belum pernah mendengar nama Karodda, setidak-tidaknya dari orang tua tempat kau menginap itu?”
“Sudah,” jawab La Pawe  singkat.
“Setan!” Karodda itu mengumpat, “sekarang berikan kerismu itu.”
La Pawe  masih tetap berada di tempatnya. Ia sama sekali tidak bergerak, apalagi memberikan kerisnya, sehingga sekali lagi Karodda  berteriak, “Berikan kerismu perantau, atau kau akan terkubur di kampung   ini ?”
“Kedua-duanya tidak menyenangkan Pase,” jawab La Pawe 
“He?” teriak Karodda, “Sebut namaku!”
“Ya. Bukankah namamu La Pase?”
“Diam! Sebut namaku sepuluh kali!”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar