JUAL E-BOOK
JUDUL : RINTIHAN WANITA DALAM PELUKAN BATARA WAJO
HARGA ; Rp. 30.000.
YANG BERMINAT HUB. WIRASANDI RISANI
NO.HP 085103481919
NO.REK. 1520014105130 BANK MANDIRI
AN. WIRASANDI
EPISODE III
LA PAWE MEMBEBASKAN PENDUDUK DARI RASA KETAKUTAN
Sementara itu pun, langit menjadi semakin lama semakin
terang. Warna yang kelam seakan-akan sedikit demi sedikit larut dihanyutkan
oleh angin pagi. Bintang-bintang yang masih gemerlapan, semua tenggelam dalam
cahaya yang semakin terang. Dan bintang pagi pun kemudian sinarnya menjadi
pudar dan lenyap ditelan cerahnya sinar matahari pagi.
Demikian akhirnya malam itu pun lenyaplah. Kampung
Sakkoli itu kini kembali ditimpa oleh sinar matahari. Namun kampong itu tidak
segera terbangun. Seakan-akan seseorang yang sedang sakit parah, yang tetap
tinggal di pembaringannya meskipun matahari telah mencapai tinggi sepenggalah.
Tetapi akhirnya, beberapa orang Sakkoli itu harus ke
luar juga dari rumah-rumah mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah
dikunjungi oleh Karodda serta diminta untuk datang ke rumahnya mengantarkan
barang-barang yang dikehendakinya.
La Pawe pun membenahi diri. Mencuci muka di sumur di
belakang rumah. Memperbaiki letak pakaiannya dan kemudian bersama-sama dengan
orang tua yang ramah itu, duduk di atas tikar anyaman menghadapi air jahe
hangat dan sebongkah gula kelapa.
“Minumlah nak,” orang tua itu mempersilakan, namun ia
sendiri tidak mau minum. Lehernya yang telah berkeriput itu seakan-akan telah
tersumbat. Meskipun demikian, La Pawe
minum juga beberapa teguk. Alangkah segarnya.
“Sebentar lagi kita harus pergi memenuhi permintaan
anak setan itu. Istriku sedang menjemput gadisnya di rumah sebelah.
Mudah-mudahan kita dijauhkan dari malapetaka yang lebih besar. Biarlah aku
serahkan perhiasan itu, asal anakku itu tidak diganggunya.”
La Pawe
mengangguk-anggukkan kepalanya. Alangkah sedihnya orang tua itu.
Sesaat kemudian istrinya yang telah tua pula itu pun
datang bersama anak perempuan beserta suaminya. Sekilas La Pawe segera dapat melihat air mata yang membasahi
mata yang jernih bulat itu. Sedang suaminya, tidak lebih seorang petani biasa.
Bertubuh kecil dan berhati kecil. Sehingga dengan gemetar ia bertanya, “Apakah
yang akan dilakukan oleh Karodda bapa’”
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu.
Mudah-mudahan tak akan dilakukan sesuatu.”
“Aku telah membawa semua perhiasan dan kekayaan yang
aku miliki. Mudah-mudahan istriku tidak diganggunya.”
Orang tua itu tidak menyahut. Namun istrinya menangis
terisak-isak, sehingga anaknya menangis pula. Katanya, “Biarlah aku tinggal di
rumah. “
Ayahnya menarik nafas. Tak sepatah kata pun dapat
diucapkan, sehingga anaknya itu berkata pula, “Ayah, aku lebih baik mati
daripada disentuhnya.
Ayahnya masih terbungkam. Dan bahkan matanya pun
menjadi basah pula.
La Pawe
benar-benar tak dapat menahan perasaan harunya. Karena itu tiba-tiba ia
berkata, “Biarlah anak bapa tinggal di rumah bersama suaminya.”
Yang mendengar kata-kata La Pawe itu terkejut. Orang tua itu berpaling
kepadanya sambil berkata, “Aku tidak dapat membayangkan akibatnya.”
“Mudah-mudahan Karodda
melupakannya setelah ia melihat perhiasan bapa dan kerisku ini,” jawab
La Pawe
Orang tua itu berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia
menjawab, “Hamsemuanya.”
“Tetapi apakah anak bapa itu juga terpaksa dikorbankan
seandainya nanti dikehendaki oleh Karodda
itu?”
Orang tua itu terdiam. Istrinya pun terdiam. Namun
anak perempuannyalah yang menangis. Dan bahkan suaminya pun menangis.
“Jangan menangis,” minta La Pawe kepada laki-laki itu, “seharusnya laki-laki
tidak menangis.”
Tetapi laki-laki itu menangis terus. Katanya di
sela-sela tangisnya, “Saudara tidak
merasakan apa yang aku rasakan. Itulah saudara
dapat berkata demikian.”
La Pawe kini
yang terdiam. Ia tidak tahu bagaimana mencoba menghibur mereka. Namun ia
menjadi semakin kasihan juga melihat keadaan keluarga yang sedang berduka itu.
Tiba-tiba perempuan tua itu berkata, “Nak” biarlah suaminya saja pergi bersama-sama
bapa’. Biarlah anak ini tinggal bersama aku di rumah. Bawalah semua kekayaan
yang ada sebagai tebusannya.”
Laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Akhirnya
ia pun berkata, “Biarlah ia tinggal di rumah. Marilah kita pergi apa pun yang
terjadi.”
La Pawe
menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Marilah. Kita tebus putri bapa
itu dengan kekayaan. Mungkin Karodda akan bergembira karenanya.”
Orang tua itu tidak menjawab. Ditatapnya wajah anaknya
dan istrinya berganti-ganti. Kemudian kepada menantunya ia berkata, “Marilah
supaya Karodda tidak menjadi kesal menunggu kedatangan kita.”
Maka pergilah mereka bertiga ke rumah Karodda. Dengan
wajah tunduk menantu orang tua itu berjalan di sampingnya, sedang La Pawe berjalan di belakang mereka.
Sekali orang tua itu berpaling sambil bertanya kepada
La Pawe , “Apakah anak sudah ikhlas akan
keris itu?”
La Pawe menarik
nafas. Jawabnya, “Keris ini keris peninggalan Bapa.”
“Jadi?”
“Entahlah,” sahut La Pawe Kembali mereka berdiam diri. Mereka berjalan
menyusur jalan-jalan kampung yang sempit, menuju ke rumah Karodda
Akhirnya sampai jugalah mereka ke rumah itu. Rumah
yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas. Di halaman itu La Pawe melibat beberapa orang telah berkumpul dengan
berbagai bungkusan di tangan mereka. Namun tampaklah wajah mereka yang suram
dan bersedih. Mereka harus menyerahkan beberapa macam benda bagian dari
kekayaan mereka.
Ketika orang tua itu sampai di halaman rumah Karodda,
maka semua orang yang sudah berada ditempai itu, menjadi heran dan saling
berpandangan. Sebagian dari mereka menjadi heran, kenapa orang tua itu pula
telah dijadikan korban oleh Karodda ?
Dan sebagian lagi heran melihat kehadiran orang yang belum pernah mereka kenal
sebelumnya.
Seseorang yang telah setengah umur segera mendekati
orang tua itu sambil berbisik, “Kenapa Kakak datang kemari?”
“Seperti juga kau datang kemari,” jawab orang tua itu.
“Oh, apakah Karodda itu sampai hati juga berbuat demikian kepada Kakak?”
“Ternyata demikianlah.”
Kemudian mereka itu terdiam ketika mereka melihat
Karodda keluar dari rumahnya. Dengan wajah yang cerah anak muda itu tersenyum.
Kemudian mengangguk kepada semua orang yang telah berada di halaman. Namun sesaat
ia, memandang ke seberang halamannya. Dan ternyata di kejauhan, beberapa orang
dengan diam-diam ingin melihat apa yang terjadi di halaman rumah Karodda itu.
Namun Karodda itu masih saja tersenyum. Kemudian dengan ramah ia berkata,
“Alangkah senangnya aku, bahwa kalian masih juga suka berkunjung ke rumah ini.
Meskipun belum kalian nyatakan, tetapi aku sudah tahu bahwa kalian telah
bersusah payah datang untuk memberikan bekal perjalananku lusa. Sebenarnyalah
aku memang hendak bepergian. , ke pusat
kerajaan mengikuti putra raja kita La Pateddungi, yang hari ini datang juga ke kampung ini.”
Karodda itu
diam sesaat, namun orang yang datang di halamannya mengumpat di dalam hati
mereka.
Kembali Kaarodda
itu berdiam diri. Ditebarkannya pandangan matanya sekali lagi. Ketika ia
melihat La Pawe , maka anak muda itu
tersenyum, “Selamat datang Saudara. Ternyata saudara sudi juga berkunjung ke
rumah ini.”
La Pawe pun
menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Tentu. Bukankah saudara yang minta kepadaku untuk
datang pagi ini?”
Karodda
mengerutkan keningnya, dan orang-orang yang mendengar jawaban itu pun
menjadi terkejut. Alangkah beraninya orang itu menjawab pertanyaan Karodda.
Namun kemudian mereka menyadari bahwa orang itu belum mengenal siapakah Karodda
itu.
Karodda pun kemudian tersenyum pula, “Memang, aku
kemarin telah mempersilakan kau datang. Bukankah lebih baik apabila kita
memperbanyak sahabat?”
La Pawe tidak
menjawab. Dan dibiarkannya Karodda tersenyum puas. Ia ingin melihat apa saja
yang akan terjadi seterusnya di halaman itu. Ternyata Karodda itu pun tidak
memperpanjang perkataannya. Dengan singkat kemudian ia berkata, “Nah, aku akan
sangat berterima kasih atas pemberian kalian. Karena itu, marilah berikanlah
apa yang ingin saudara-saudara berikan itu.”
Suasana kemudian menjadi hening sepi. Tampaklah
beberapa orang menjadi ragu-ragu. Sehingga Karodda itu pun berkata, “Marilah. Satu demi satu,
supaya aku dapat melihat barang-barang yang kalian berikan itu. Marilah!” Sebelum
putra raja datang.
Maka, sesaat kemudian mulailah orang yang pertama
berdiri. Melangkah maju dan menyerahkan bungkusannya kepada Karodda. Dengan
tersenyum puas, Karodda membuka bungkusan itu.
. Namun wajah Karodda itu tiba-tiba menjadi gelap. Katanya, “Apakah
benda ini sama sekali tidak berbalut emas?”
Orang yang membawa barang itu terkejut. Dan dengan ketakutan ia
menjawab, “Tidak, tidak Pase.”
“He?” potong Karodda, “Sebutlah namaku!”
“Oh,” orang itu semakin ketakutan, “maksudku Karodda.”
Karodda menarik
napas. Tetapi tiba-tiba ia membentak “Bohong! Benda-benda serupa ini biasanya
berbalut emas.”
“Tetapi yang ini tidak Saudaraku,” jawab orang itu,
“ini adalah peninggalan Bapakku. Dibuatnya benda ini dengan tangannya sebagai
kenang-kenangan pada masa mudanya,
Sehingga sudah tentu kami tidak dapat memberinya emas. Sebab sebenarnya
kami tidak pernah melihat, apalagi memiliki emas. Maka …”
“Cukup!” bentak Karodaa, orang itu sedemikian
terkejutnya sehingga tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar, “Aku tidak perlu
ocehan itu.”
Orang itu ternyata masih ingin memberi beberapa
penjelasan, namun mulutnya sajalah yang bergeletar, tetapi tak sepatah kata pun
yang dapat lolos dari tenggorokannya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar
Karodda membentaknya sekali lagi, “Pulang! Jangan menghina aku! Ambil emas yang
lain!”
“Itu, itu…,” sahut orang itu terbata-bata, “itu adalah
milikku yang paling berharga saudaraku.”
“Pulang, dan ambil yang lain! Dengar?”
“Aku, aku sudah tidak punya apa-apa lagi.”
Karodda itu kemudian menjadi marah. Dengan
serta-merta itu dibantingnya pada sebuah
batu.
“Pase” teriak orang itu. Tetapi ia hanya dapat melihat
barangnya itu pecah berserakan. Bahkan Karodda
itu masih bertambah marah lagi, karena orang itu menyebut nama aslinya.
Karena itu, dengan kakinya yang kokoh kuat Karodda mendorong orang itu sehingga
terpental beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah.
Halaman itu menjadi tegang dan sepi. Sesepi perkuburan
Tak seorang pun yang berani memandang wajah Karodda.
Namun tiba-tiba mereka yang berada di halaman itu terkejut ketika mereka
mendengar Karodda itu tertawa. Kemudian ia berkata lemah, “Ah. Maafkan aku. Aku
tidak biasa berlaku kasar. Namun aku sebenarnya tidak mau dihina. Aku tidak mau
dihina. Aku tidak akan sakit hati seandainya kalian tidak ingin memberi aku
bekal apa pun. Namun aku tidak mau dihina dengan benda-benda serupa itu.”
“Hem,” orang tua di samping La Pawe menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba
ia terkejut ketika Karodda itu tiba-tiba
memandangnya sambil tersenyum. Kemudian dengan hormatnya ia berkata, “Ah,
bapa’. Agaknya datang juga ke tempat
yang kotor ini.”
Orang tua itu menjadi berdebar-debar. Apalagi kemudian
Karodda itu berkata, “Sebenarnya aku akan sangat gembira apabila bapa’ datang
bersama gadis itu.”
Orang tua itu tidak menjawab. Namun debar di dadanya
menjadi semakin cepat. Karena ia tidak menjawab,maka Karodaa itu berkata pula,
“bapa’, tidakkah datang dengan gadis
bapa’ itu?”
Orang tua itu menjadi bertambah gelisah. Keringat
dinginnya telah mulai membasahi bajunya. Dengan tergagap ia menjawab, “Tidak
nak. Aku datang bersama suaminya.”
“Suaminya?” tiba-tiba mata Karodda itu terbelalak.
Apakah yang bapa’katakan?”
Orang tua itu telah benar-benar menjadi gemetar.
Sehingga kembali mulutnya terbungkam. yang menjawab kemudian adalah La
Pawe .
“Ya saudara. Bapa’ ini datang bersama menantunya.”
Mata Karodda itu kemudian menjadi merah. Dengan liar
ia menatap La Pawe dan laki-laki tua itu
berganti-ganti. Kemudian katanya lantang “bapa’, buat apa menantumu itu
bagiku?”
La Pawe menjadi
ragu-ragu. Karena itu ia pun kemudian berdiam diri. Dibiarkannya Karodda menggeram dan kemudian berkata, “Aku sudah
mengatakan, seharusnya bapa’datang dengan anakmu, bukan menantumu. Buat apa aku
minta menantumu datang?”
Karodda
berhenti sejenak. Kemudian pandangan matanya jatuh kepada menantu orang
tua itu. “Ha, kau agaknya menantunya bukan? Jangan ingkar! Isterimu itu memang
cantik.
Tiba-tiba Karodda itu tertawa. Suaranya menggelegar
memenuhi halaman. Karena itu setiap orang yang mendengar menjadi ngeri
karenanya. Kemudian katanya meneruskan, “Aku kenal kau sejak kecil dan kau
kenal aku sejak kecil pula. Karena itu, marilah kita berbaik hati sesama kita.
Tolonglah aku, panggillah istrimu itu! Sebelum “Puang Pateddungi” datang.
Kata-kata itu benar-benar tak dapat dimengerti oleh La
Pawe . Dan ia menjadi semakin tidak
mengerti, ketika menantu orang tua itu menangis, “Bagaimana bapa’? Apakah aku
harus memanggilnya?”
Orang tua itu pun terdiam. Dan suasana di halaman itu
menjadi beku.
Namun Karodda itu , bahkan ia berteriak lebih keras
“Cepat! Panggil istrimu itu sekarang!”
“Anak,” berkata orang tua itu dengan gemetar, “aku
telah membawa emas yang kamu kehendaki,
dan menantuku telah membawa perhiasan yang dimilikinya. Sedang tamuku pun telah
merelakan kerisnya untuk anak. Apakah
masih memerlukan anakku itu?”
Karodda sama
sekali tidak mau mendengar kata-kata itu. Ia kemudian berteriak tinggi, “Lekas,
panggil ia sekarang!” Bukan aku yang memerlukan wanita itu tapi “Paung
Pateddungi” putra raja kita.
Namun ketika ia akan berteriak kembali, sekali lagi
ibunya menggamitnya dan berkata, “Jangan Karodda, jangan ganggu anak itu.”
Tetapi Karodda itu masih saja tidak mau mendengar
kata-kata ibunya itu, “Diam!” tiba-tiba
Karodda itu membentak. Ibunya menjadi sangat terkejut dan bahkan semua orang
menjadi terkejut pula. Meskipun demikian ibunya itu meneruskan, “Karodda, aku
minta sekali lagi, “Cepat! Panggil
perempuan itu! Aku menghendaki
perempuan itu, untuk raja !”
“Aku tak mau dihalangi oleh siapa pun juga. Semua
kehendakku harus terjadi!” Karena kehendakku adalah kehendak “Puang Pateddungi”
La Pawe menarik
nafas dalam-dalam. Alangkah buasnya anak muda itu. Menilik wajahnya,
keluarganya dan keadaan di sekitarnya maka mustahillah bahwa lingkungan itu
dapat membentuk orang sekasar Karodda itu. Tetapi kemudian La Pawe pun memperhitungkan pula kepergian Karodda
itu ke pusat kerajaan sambil berguru
selama ia di rantau. Dengan demikian, menurut kesimpulan La Pawe , pasti lingkungan istanalah yang telah merusak hidup anak muda itu.
Kini kembali Karodda itu memandangi orang tua beserta
menantunya. Sekali lagi ia berteriak, “Aku ingin memberi kalian kesempatan
sekali lagi. Panggil perempuan itu. Aku menghendaki sekarang
Orang tua itu menjadi semakin gemetar, dan menantunya
menangis lebih deras lagi sambil bertanya, “
bagaimana bapa’?”
“Jangan bertanya lagi! Berdiri dan pergi!” bentak
Karodda.
Kali ini Karodda ingin memperlihatkan kepada putra
raja, apa yang dapat dilakukannya di kampung halamannya. Karena itu, maka apa
yang dilakukannya kali ini benar-benar mengejutkan dan sangat menakutkan bagi
penduduk Sakkoli.
Karodda itu pernah datang bersama-sama beberapa
prajurit seperguruan. Pernah diambilnya seorang gadis untuk dipersembahkan
kepada putra raja La Pateddungi To
Samallangi. Namun belum pernah Karodda
mengundang orang sebanyak ini untuk datang di halaman rumahnya. termasuk tetua kampung mereka. Bahkan anak
perempuannya pula dikehendakinya. Kali ini Karodda benar-benar ingin
memperlihatkan kekuasaannya di antara penduduk tempat ia dilahirkan.
Ketika Karodda
itu masih melihat menantu tetua kampung
itu masih belum beranjak dari tempatnya, maka ia pun menjadi semakin
marah. Dengan nada yang tinggi ia berteriak, “He, apakah yang kau tunggu?
Apakah kau ingin kepalamu bengkak dahulu?”
Laki-laki itu benar-benar menjadi ketakutan. Karena
itu dengan gemetar ia berdiri untuk pergi memanggil istrinya.
Tetapi laki-laki itu terkejut, ketika La Pawe
menggamitnya. Dengan isyarat ia mencegah laki-laki itu. Namun laki-laki
itu tidak segera dapat menangkap isyaratnya, sehingga perlahan-lahan La
Pawe berbisik, “Jangan pergi!
Lindungilah istrimu itu.”
Laki-laki itu menjadi bertambah bingung. Ia sependapat
dengan La Pawe . Namun ia tidak berani
menentang kehendak Karodda.
Ketika Karodda melihat orang itu berhenti, maka sekali
lagi ia berteriak, “Apakah kau benar-benar bosan hidup?”
Dengan gemetar orang itu melangkah kembali. Namun
sekali lagi La Pawe mencegahnya. Bahkan
kali ini ia menahan tangannya.
“Jangan!” katanya.
Kali ini Karoddda melihat tangan La Pawe menarik tangan laki-laki itu. Karena itu
betapa ia menjadi sangat marah. Dengan serta-merta ia mengumpat sambil berkata,
“Setan!Apakah yang kau lakukan itu?”
“Tidak apa-apa,” jawab La Pawe , “aku hanya ingin memperingatkannya, biarlah
istrinya berada di rumah.”
Wajah Karodda
itu seakan-akan menjadi menyala mendengar jawaban La Pawe
sehingga agaknya ia perlu meyakinkan pendengarannya.
“He, apa katamu?” Ia bertanya.
Sekali lagi La Pawe
menjawab, “Aku hanya ingin memperingatkannya, sebaiknya istrinya tetap
berada di rumah.”
Tubuh Karodda
itu kemudian menjadi gemetar. Kini ia mendengar dengan jelas, apa yang
dikatakan oleh orang yang baru saja dikenalnya itu. Katanya, “Saudara, jangan
membuat keributan di sini. Apakah kau belum pernah mendengar nama Karodda,
setidak-tidaknya dari orang tua tempat kau menginap itu?”
“Sudah,” jawab La Pawe
singkat.
“Setan!” Karodda itu mengumpat, “sekarang berikan
kerismu itu.”
La Pawe masih
tetap berada di tempatnya. Ia sama sekali tidak bergerak, apalagi memberikan
kerisnya, sehingga sekali lagi Karodda
berteriak, “Berikan kerismu perantau, atau kau akan terkubur di
kampung ini ?”
“Kedua-duanya tidak menyenangkan Pase,” jawab La
Pawe
“He?” teriak Karodda, “Sebut namaku!”
“Ya. Bukankah namamu La Pase?”
“Diam! Sebut namaku sepuluh kali!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar