JUAL E-BOOK
JUDUL : TOSORA MEMBARA.
HARGA ; Rp. 30.000.
YANG BERMINAT HUB. WIRASANDI RISANI
NO.HP 085103481919
NO.REK. 1520014105130 BANK MANDIRI
AN. WIRASANDI
JUDUL : TOSORA MEMBARA.
HARGA ; Rp. 30.000.
YANG BERMINAT HUB. WIRASANDI RISANI
NO.HP 085103481919
NO.REK. 1520014105130 BANK MANDIRI
AN. WIRASANDI
BAB I
AWAL SEBUAH PERJUANGAN
Alkisah
masa dahulu, tersebut kesatria dari kerajaan Wajo bernama Latenrilai to Sengngeng, menjelang dewasa rupanya jiwa merantau dan keinginan berlayar,
dari warisan darah
leluhur mulai tumbuh. Semangat
cinta pada laut semakin
menggelora begitu kuat tertanam pada dirinya, apalagi setelah
mendengar kota Makassar,
telah menjadi pusat bandar perdagangan yang begitu maju. Hasrat berlayar dan berdagang tidak terbendung lagi, maka ia
panggil beberapa sahabat dan lebih
Sepuluh anak buahnya, agar beramai ramai
mengumpulkan uang bersama, guna
membeli barang barang hasil bumi,
untuk dijual ke Makassar.
Dan
tibalah hari yang dinanti
nantikan untuk berangkat, kala
itu mentari bersinar cemerlang,
layar sudah dikembangkan, jangkar sudah ditarik, mengawali sebuah babak
baru dalam kehidupan La Tenrilai to Sengngeng, ketika perahu menjelang berangkat, ia berdiri tegak di haluan, getar suaranya terasa menggema dilaut berkata, lihaaat...!!! gelora ombak beriring sedang menyambut, angin semilir dari buritan kan mengantar kita
ketempat tujuan, kota Makassar yang
telah lama kita impi impikan. Menjelang
malam mereka bersantap makan sambil bergurau, salah satu diantaranya berkata
puang (panggilan Yang dipertuan bagi La
Tenrilai to Sengngeng) pandang ke langit puang, bulan purnama mulai merangkak
naik. Ya, kata La Tenrilai, ibarat gadis
sedang tersenyum sambil menyanyikan kidung kidung tembang kenangan tentang
gairah hidup. Secercah cahaya diantara jutaan bintang yang beredar tanpa benturan,
lepas, tanpa ikatan. Sebab inilah
guratan hukum kebebasan bagi pelaut, meniti buih di laut lepas, terkadang
burung camar terbang menari nari
diatas layar sebagai pengusik kesepian, sementara kita sedang merenung mencari hakikat arti hidup dan kehidupan, tentang takdir kita.
Menjelang
pagi tampil seorang pelaut dan berkata, Puang !, kau telah memimpin hasrat kami
ke Makassar, lihat didepan, awan gelap
telah menanti pertanda akan datangnya badai, mungkinkah ombak ganas
datang menjemput?, yang akan
menenggelamkan mimpi kita sampai
di Makassar?.
Mendengar
perkataan tadi, tiba tiba seorang kakek yang selalu dipanggil Lato’e,
berteriak,.....” dengarkan semua wahai
anak anaku yang ada diatas perahu,“Toddo manengngi ri ati’ta, makkeda,
de’ nalabu matanna essoe ritengngana bitarae
artinya “ Tancapkan keyakinan
hingga kehulu hati bahwa tidak akan
tenggelam matahari ditengah hari. Maknanya tidak terjadi sesuatu bila belum waktunya.
Dan
tidak lama kemudian apa yang diperkirakan,
benar benar telah terjadi, ombak silih berganti datang menghempas
perahu, menyebabkan perahu timbul tenggelam. Saat saat menegangkan mulai
merambah pada siapa yang kurang mampu bertahan, tiba tiba La Tenrilai to
Sengngeng berteriak “ Tidak seharusnya seorang diantara kita, dapat disebut penakut menantang badai, atau
apapun selain sang chalik, sebab
taruhannya hanya hidup atau mati, apalah arti hidup kalau tidak berani bercanda
dengan maut, dan apalah arti maut kalau tidak berani menantang hidup.
Mati ...baru dapat dikatakan berarti bila kita dapat menoreh arti pada
hidup dan kehidupan. Sekarang kita
sedang merajut hidup dan kehidupan, tanggalkan semua rasa dan pikiran yang
dapat menimbulkan rasa takut, rasa
ngeri, tatap badai ini dengan senyum untuk membuktikan bahwa kita ini adalah
pelaut ulung dan laki laki sejati, yang dapat dipertaruhkan
atau diletakkan sebagai taruhan pada jalan yang benar.
Sejenak
kemudian seluruh awak perahu, bangkit
dengan tegar sambil menatap badai, dan
berusaha berpegang pada apa saja, yang dapat menjaga keseimbangan tubuhnya.
Menjelang
sore badai perlahan lahan mulai reda, dan menjelang malam ombakpun sudah
tenang,
Menjelang malam ke Tiga para awak perahu terlihat santai karena
alunan ombak begitu tenang, hanya
terdengar desiran perahu memecah
ombak.
Salah
seorang bicara, Lato ...! tolong ajarkan segala ilmu yang selama
ini kau pendam, agar darahmu dapat menembus urat nadi kami, dengus
napasmu dapat menyentuh
hati kami, dengan harapan semoga kami dapat mengerti, dan memahami bekal
apa sebaiknya untuk dibawa
mengarungi samudera kehidupan.
Wahai
anak anakku.... seperjalanan dan seperjuangan,
malam ini bulan kembali membias diatas hamparan
laut. Bahaya samudera telah kita arungi
besama, amukan angin topan dan badai
usai kita hadapi. Namun sebelum
kita menapaki jalan yang
ujungnya bercabang nanti, dan
seorang diri dari kita pasti pergi menuju ujung pengembaraan. Maka sebelumnya
aku akan memberikan hasil panen yang kau pinta
selama ini kusimpan.
Anak anakku seperjuangan yang kucintai, ingatlah ini
bukan pemberian kuajarkan melainkan pengertian disertai pemahaman,
bayangan kehidupan dalam jiwa kalian
tidak lain dari kehidupan itu sendiri. Dan kaulah cermin kehidupan karena kau dan kehidupan satu jua, menyatu
dalam pelukan ilahi.
Setelah
4 hari 4 malam mengarungi laut, pada hari ke 5, nampaklah bandar Makassar dari jauh, kelelahan dalam
perjalanan mulai pulih, oleh kegembiraan,
karena tidak lama lagi
perahu akan berlabuh, pada
bandar yang diimpikan selama ini.
Setelah perahu berlabuh mereka belum langsung turun, masih melewati satu malam
lagi diatas perahu dan baru keesokan
harinya mereka turun sambil membongkar barang bawaannya.
Setelah transaksi barang barang yang dibawa La
Tenrilai to Sengngeng, telah selesai semua, merekapun naik kembali keperahunya
untuk istirahat, pada malam hari sesudah
makan malam, mereka pada
berkumpul di geladak sambil berceritera tentang kekagumannya atas bandar
Makassar, yang ramai didatangi bangsa asing dari luar. Belum lama berceritera, tiba tiba mereka kedatangan
tamu, yaitu saudagar yang telah membeli
semua barang barangnya bernama
Ambo Saro, ditemani oleh Dua orang pengawalnya.
Saudagar tersebut juga berasal dari Wajo, tapi ia
lahir di Makassar, karena sebelum itu kakeknya terlebih dahulu merantau
ke Makassar. jadi kekayaan yang dimilikinya adalah masih merupakan warisan dari
kakeknya. Setelah Ambo Saro
dipersilahkan naik ke perahu, maka iapun naik dan langsung dipesilahkan
duduk di geladak. Setelah itu, awak perahu menyampaikan La Tenrilai bahwa Ambo Saro datang bertamu dan sekarang ia ada
di geladak. La Tenrilai pun naik ke
geladak dan menemui tamunya, setelah
keduanya bersalaman, kemudian La
Tenrilai menyatakan kegembiraannya atas kunjungan Ambo Saro, sebab perjumpaan
antara sesama asal daerah di perantauan
merupakan kepuasaan tersendiri.
La
Tenrilai berkata : karena saya melihat daeng (Sebutan kakak bagi golongan orang
biasa) jauh lebih tua dari saya, tentunya banyak hal hal yang daeng ketahui selama ini tentang
situasi kerajaan Gowa serta perkembangannya.
Ambo
Saro menjawab : Apa yang Karaeng ( Karaeng
sebutan bagi bangsawan di Makassar, walaupun itu bangsawan dari daerah
lain) ingin ketahui mudah mudahan saya bisa memberi penjelasan, karena tentunya
tidak semua masalah saya ketahui.
La
Tenrilai berkata : Tahukah daeng tentang riwayat Sombaiya ri Gowa Sultan
Hasanuddin hingga ia diangkat menjadi Raja di Kerajaan Gowa.
Ambo Saro
menjawab : Menurut pengetahuan saya bahwa, Sultan Hasanuddin lahir pada tanggal
12 Januari 1631, dengan nama kecil I Mallombasi
daeng Mattawang Karaeng
Bontomangape. Ayahnya bernama I
Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan
ibunya bernama I Sabbe To’mo Lakuntu, Putri bangsawan Laikang merupakan
salah satu istri Sultan
Malikussaid.Kemudian Sultan Hasanuddin
menikahi I Bate Daeng Tommi atau I lo’mo Tombong Karaeng Pabineang. I
Bate Daeng Tommi adalah putri I Mangngada’
Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang mangkubumi Kerajaan Gowa.
La
Tenrilai berkata : Apakah seorang raja
di kerajaan Gowa berdasarkan keturunan atau dipilih oleh dewan adat
sebagaimana di kerajaan Wajo?
Ambo
Saro menjawab : Untuk itu saya belum paham
betul Karaeng, karena pada waktu Sultan Hasanuddin dilahirkan hingga masa
kecilnya, ayahnya Sultan Malikussaid belum
menjadi raja Gowa, sementara Sultan Hasanuddin pelanjut orang tuanya
sebagai raja Gowa.
La
Tenrilai sebagai seorang ksatria yang
tidak mau kalah ingin mengetahui, dan menjajaki apa kelebihan
Sultan Hasanuddin sehingga mampu menguasai kerajaan kerajaan Bugis seperti
kerajaan Bone, kerajaan Soppeng termasuk
kerajaan Wajo. Hal ini membuat La Tenrilai melanjutkan pertanyaannya : Apa
kelebihan pribadi Sultan
Hasanuddin yang daeng ketahui selama ini ?.
Ambo
Saro menjawab : Menurut apa yang saya
dengar sejak kecil ia telah menunjukkan kelebihan dari saudara
saudara tirinya yang lebih tua, karena Sultan Hasanuddin, memiliki kecerdasan dan kerajinan dalam belajar sangat menonjol. Disamping itu ia hanya punya saudara sekandung perempuan
bernama I Sani atau I Patimang
Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne yang kawin
dengan Ambela Abdul Khair Sirajuddin Sultan Bima.
La
Tenrilai setelah mendengar penjelasan
tersebut, ia tertarik dengan kisah perkawinan saudara perempuan Sultan
Hasanuddin dengan Sultan Bima. La Tenrilai kemudian tertunduk sejenak sambil
berpikir bahwa rupanya sistim perkawinan antar Dua kerajaan merupakan sebuah taktik
pertahanan yang paling ampuh, karena disamping menjaga serangan kerajaan yang
dianggap kuat, juga dapat dijadikan sekutu. Dalam hatinya, La Tenrilai sangat memuji taktik Sultan Bima Abul Khair
Sirajuddin, yang telah mengawini adik perempuan Sultan Hasanuddin, untuk
menangkal serangan kerajaan Gowa yang telah mendominasi kawasan
Nusantara bahagian timur.
Selanjutnya La Tenrilai berkata : Sejak
kapan Sultan Hasanuddin dinobatkan sebagai Raja Gowa atau Sombaiya ri Gowa.
Ambo Saro menjawab : Saya turut
menyaksikan penobatan Sultan Hasanuddin pada bulan Nopember tahun1653 atau 2
tahun yang lalu.
La Tenrilai meng-angguk angguk sambil berkata : kalau begitu Sultan
Hasanuddin dinobatkan jadi Raja Gowa dalam umur 22 tahun. Luar biasa, luar
biasa, hanya dalam umur 22 tahun ia
sudah diberi tanggung jawab yang begitu besar, sebab disatu sisi ia
harus tetap mempertahankan kerajaannya atas dominasi dengan beberapa kerajaan
di kawasan timur Nusantara, juga disisi lain ia harus mempertahankan Kerajaan
Gowa dari serangan kompeni Belanda.
Dijawab Ambo Saro : Iye karaeng.Memang
benar , Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa diberi
tanggung jawab untuk melindungi kerajaan kerajaan,mulai dari kawasanPulau Sulawesi hingga Maluku. Sehingga hal ini mematahkan kehendak
kompeni Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah
rempah di Maluku.
Setelah Ambo Saro, puas berceritera dengan
La Tenrilai to Sengngeng, tidak lama kemudian iapun memohon diri.
Melihat
awak kapal sudah puas mendengar
ceritera dari Ambo Saro, kemudian La
Tenrilai to Sengngeng, berkata : Baru kemarin kita dihantam gelombang laut,
rupanya kita harus bersiap siap mengahadapi gelombang perang dengan kompeni
Belanda, yang akan lebih dahsyat lagi, sebab saya telah mendengar tadi dari
pembicaraan orang orang Makassar, bahwa
sudah tidak sedikit korban yang jatuh di kedua belah pihak antara satria
Makassar dengan kompeni Belanda. Ini baru pemanasan, karena kompeni tetap
bersikeras untuk menguasai laut dan perdagangan hasil bumi utamanya rempah
rempah. Jika sekira nantinya dalam perjalanan pulang kebetulan bertemu dengan
kapal kapal kompeni, apa yang kita bisa perbuat. Sementara kita belum
siap dari segi persenjataan utamanya meriam. Karena itu rencana untuk membeli
berbagai keperluan keluarga di daerah, terpaksa kita rubah untuk membeli meriam
sebagai persiapan untuk melakukan perlawanan, dan bagi kita rupanya ini sebuah
harga mati. Salah satu dari awak kapal
nyeletuk, bagaimana puang bisa mendapatkan meriam meriam itu. Dijawab La
Tenrilai saya akan menghadap, Sombaiya
ri Gowa (Raja Gowa) Sultan Hasanuddin
untuk minta bantuan, agar kita bisa
mendapatkan persenjataan dan meriam.
Keesokan
harinya La Tenrilai dengan dikawal 5 orang, ditambah 1 orang juru bicara yang
tahu bahasa Makassar dan juga bahasa
Bugis, berangkat menuju istana Sultan
Hasanuddin.
Sesampainya
di Istana juru bicara tersebut menyampaikan kepada pengawal istana, bahwa ada
bangsawan dari kerajaan Wajo ingin bertemu dengan Karaeng. pengawal istana menanyakan siapa namanya,
juru bicara berbisik, lalu iapun naik
keatas melaporkan kepada Sultan Hasanuddin.
Rupanya
gayung bersambut, dengan wajah berseri
seri Sultan Hasanuddin mempersilahkan La Tenrilai naik menemuinya, dengan disertai juru bicara,
sementara pengawalnya menunggu dibawah. Setelah La Tenrilai naik, langsung
berjabat tangan sambil berpelukan dengan Sultan Hasanuddin, kemudian La
Tenrilai dipersilahkan duduk.
Sultan
Hasanuddin kemudian menanyakan maksud
kedatangannya, sambil memandang La Tenrilai, dalam hatinya berkata anak muda
ini begitu nampak gagah dan bernyali.
Dijawab
Latenrilai bahwa dengan melihat aktivitas
kompeni Belanda semakin meningkat
dilaut, demi untuk mempertahankan
diri, kami sangat mengharapkan Karaeng (Raja)
kiranya berkenan membantu kami
agar bisa membeli Meriam.
Mendengar itu,
Sultan Hasanuddin berkata : Cuma waktunya
agak lama, kira kira 5-6 bulan
baru bisa barangnya datang.
La
Tenrilai menjawab bahwa tidak apa Karaeng yang penting kami bisa dapatkan.
Berkata Sultan Hasanuddin tentu saja
saya akan usahakan, karena kerajaan Gowa juga
berkepentingan didalamnya, mengingat kerajaan Wajo
adalah sekutu kami dalam persiapan menghadapi
nantinya serangan La Tenritatta yang dibantu oleh kompeni Belanda.
Berkata La Tenrilai,
kalau begitu biarlah kami
pulang terlebih dahulu ke Wajo,
sambil menunggu datangnya Meriam itu.
Berkata
Sultan Hasanuddin kapan rencana kembali
ke Wajo.
Berkata La
Tenrilai, kami terlebih dahulu akan mencari kuda tunggangan, karena bila kami naik perahu pulang
khawatir nanti bertemu
dengan kapal Kompeni, sementara
kami tidak mampu melakukan perlawanan karena
tidak memiliki persenjataan.
Ini dilaut Karaeng, kalau
didarat tentunya masih banyak hal
yang dapat kami lakukan untuk
menghadapi mereka.
Mendengar
itu Sultan Hasanuddin termenung sejenak kemudian
berkata, nanti saya
pinjamkan kuda, ada berapa kuda
yang dibutuhkan ?
Jawab La
Tenrilai cukup 15 ekor, Karaeng.
Sultan
Hasanuddin berkata, kapan rencana pulang?
Jawab La
Tenrilai kalau bisa
lusa Karaeng.
Baiklah kata
Sultan Hasanuddin.
Sesudah
itu La Tenrilai pun memohon
permisi untuk kembali ke
perahunya.
Sultan
Hasanuddin berkata : sampaikan terima kasih saya, kepada Arung
Matowa Wajo atas kesetiaan yang ditunjukkan selama ini,
selaku sekutu kerajaan Gowa
dalam menghadapi Kompeni Belanda.
Dalam
perjalanan pulang ke Wajo, ketika melewati Camba,
La
Tenrilai memandang malam yang pekat
dengan hati yang cukup tegar . "Berdoalah" bisik La Tenrilai
kepada pengawalnya "Tuhan bersama kita"